Ketika seseorang sudah pernah diperiksa sebagai saksi, dilanjutkan ada penggeledahan di rumah tempat tinggalnya atau rumah lain yang bisa diendus oleh penyidik serta kantor atau tempat lain yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani, maka tahap berikutnya adalah penantian status dirinya. Apakah tetap sebagai saksi atau sebagai tersangka? (Konteks perkara di sini adalah perkara korupsi).
Sebagaimana artikel saya sebelumnya (Baca: Stop! Cegah Tersangka Kabur Di Telan Bumi, Ini Kiatnya dan Sat-Set, Diperiksa, Digeledah, Lalu?) sudah memberikan gambaran bagaimana proses dalam prolog tadi tergambar. Maka pada artikel ini, adalah proses selanjutnya yang dibuka dengan sebuah pertanyaan: Apa upaya seseorang dalam status "menunggu-pengumuman" tersangka?
Pertama, Si Calon Tersangka tidak tinggal diam. Ia berusaha menyisihkan, menghilangkan atau mengkondisikan tempat, perangkat kerja atau lainnya untuk dibersihkan atas keterlibatannya.
Maka, jangan heran apabila seseorang sudah diperiksa sebagai tersangka dan ia mempunyai kedudukan atau jabatan, ia perintahkan staf, bagian administrasi dan sebagainya yang ada hubungan dengan keterlibatannya untuk diputus mata rantai atau hubungan dengan dirinya.
Kedua, Si Calon Tersangka akan mengkondisikan para saksi yang terdiri dari orang-orang terdekatnya untuk membuat "skenario" baru, bahwa apa yang pernah terjadi, seharusnya begini, begitu dan seterusnya.
Pada kondisi seperti ini, ada saja orang-orang terdekat tadi yang mau memenuhi permintaan, ada juga yang membelot, karena memahami, menjadi saksi kemudian memberikan keterangan yang tidak benar, bisa dikenakan sebagai pemberi keterangan palsu.Â
Disebutkan dalam Pasal 22 UU Tipikor: Setiap orang sebagaima dimaksud Pasal 28, 29, 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 Juta dan paling banyak Rp 600 Juta.
Ketiga, Si Calon Tersangka akan mencoba untuk menghubungi kolega, orang-orang yang berpengaruh, atau tokoh masyarakat, untuk diberikan kesan bahwa ia perlu untuk diberikan dukungan moral, sebagai upaya anti tesis atas dugaan perkara yang melibatkan dirinya.Â
Kalau perlu, menurunkan orang-orang untuk demo bayaran, meminta ghost writter membuat opini dengan tujuan menggiring persepsi bahwa ia sebagai pihak yang perlu untuk dibela.
Tujuan lain dari upaya ini adalah memengaruhi penyidik, setidaknya memberikan kesan ada sisi positif dari perilaku Si Calon Tersangka, untuk dipertimbangkan, atau syukur-syukur bisa mematahkan dalil sangkaan.
Yang jelas, Si Calon Tersangka akan "menggunakan segala cara" sebagaimana teori orang tenggelam, yang akan memanfaatkan apa yang bisa ia raih untuk menyelamatkan dirinya.
Pada kondisi yang demikian, tentulah penyidik dan aparat penegak hukum yang sudah memahami karakter atau kecenderungan perilaku seperti itu, tetap harus kokoh dan on the track pada proses low enforcement-nya. Tidak boleh terpengaruh apalagi masuk dalam "jebakan batman" yang dibuat oleh Si Calon Tersangka.
Siapapun Calon Tersangkanya, di depan penyidik adalah sama, sebagaimana asas hukum di negeri ini yang harus dijunjung tinggi-equality before the low, yang ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menerangkan bahwa segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahkan dan wajib menjunjung hukum tersebut tanpa adanya pengecualian.
Pertanyaan kemudian, bagaimana bila yang dihadapi penyidik atau Aparat Penegak Hukum adalah Calon Tersangka yang memiliki jabatan kedudukan yang tinggi? Atau sebagai public figure dan tokoh masyarakat misalnya? Inilah yang dilakukan:
Pertama, penanganan perkara dengan melibatkan pejabat, tokoh masyarakat atau publik figure, tetap tidak berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Hanya saja, perlu mendapat atensi khusus, karena bisa terkait dengan banyak-nya media yang selalu memblow-up setiap tahapan penyidikan.
Calon tersangka yang demikian, pastilah akan didampingi oleh penasihat hukum yang juga "dikenal publik", sehingga menjadikan perkara yang sejatinya secara substansi proses penangananya tetap mengacu pada satu aturan hukum, dalam implementasinya harus ada kecerdasan dalam bertindak, sehingga munculnya perlakuan-perlakuan yang terkadang diasumsikan "perbedaan-perlakuan".Â
Menurut saya, sepanjang masih dalam tataran aturan hukum dan tidak melanggar, tidak menjadi masalah. Misalnya, permintaan untuk diperiksa di tempat tertentu, menunda-nunda waktu pemeriksaan. Ini ada koridor hukumnya. Jadi sepanjang Hukum Acara Pidana membolehkan, maka itu wajar dilaksanakan.
Kedua, sikap kehati-hatian yang sepenuhnya dilakukan oleh penyidik atau APH. Karena sedikitpun ada celah kelemahan dalam proses penanganan, maka akan dikoreksi melalui perlawanan hukum atau gugatan hukum, misalnya dengan mengajukan Pra Peradilan. Sehingga pada konteks sikap kehati-hatian ini, terkadang membuat proses menjadi kurang sat-set, atau cepat menurut menilaian publik.
Kondisi yang demikian bukan berarti menjadi hambatan, namun justru menjadi tantangan dan akan berdampak positif ke depannya untuk bersikap lebih profesional, proporsional dan menjunjung tingga hak asasi manusia.
Harapan lainnya, akan menjadi kebiasaan perlakuan, sehingga tidak muncul kesan pembedaan perlakuan pada tahapan penyidikan atau pada proses hukum lainnya seperti penuntuan hingga pemeriksaan di persidangan.
Akhirnya, artikel ini ditutup dengan satu paragraf:
Akan banyak upaya yang dilakukan oleh Calon Tersangka, agar ia tidak jadi di Tersangka-kan. Penyidik atau APH yang menangani, akan lebih hati-hati, tidak ceroboh, karena setiap langkah yang dilakukan terblow up oleh media dan ahli hukum yang siap memberikan pendampingan hukum pada Calon Tersangka. Ini yang menjadikan, seolah terulur-nya waktu dan jauh dari kesan sat-set.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H