Yang jelas, Si Calon Tersangka akan "menggunakan segala cara" sebagaimana teori orang tenggelam, yang akan memanfaatkan apa yang bisa ia raih untuk menyelamatkan dirinya.
Pada kondisi yang demikian, tentulah penyidik dan aparat penegak hukum yang sudah memahami karakter atau kecenderungan perilaku seperti itu, tetap harus kokoh dan on the track pada proses low enforcement-nya. Tidak boleh terpengaruh apalagi masuk dalam "jebakan batman" yang dibuat oleh Si Calon Tersangka.
Siapapun Calon Tersangkanya, di depan penyidik adalah sama, sebagaimana asas hukum di negeri ini yang harus dijunjung tinggi-equality before the low, yang ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menerangkan bahwa segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahkan dan wajib menjunjung hukum tersebut tanpa adanya pengecualian.
Pertanyaan kemudian, bagaimana bila yang dihadapi penyidik atau Aparat Penegak Hukum adalah Calon Tersangka yang memiliki jabatan kedudukan yang tinggi? Atau sebagai public figure dan tokoh masyarakat misalnya? Inilah yang dilakukan:
Pertama, penanganan perkara dengan melibatkan pejabat, tokoh masyarakat atau publik figure, tetap tidak berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Hanya saja, perlu mendapat atensi khusus, karena bisa terkait dengan banyak-nya media yang selalu memblow-up setiap tahapan penyidikan.
Calon tersangka yang demikian, pastilah akan didampingi oleh penasihat hukum yang juga "dikenal publik", sehingga menjadikan perkara yang sejatinya secara substansi proses penangananya tetap mengacu pada satu aturan hukum, dalam implementasinya harus ada kecerdasan dalam bertindak, sehingga munculnya perlakuan-perlakuan yang terkadang diasumsikan "perbedaan-perlakuan".Â
Menurut saya, sepanjang masih dalam tataran aturan hukum dan tidak melanggar, tidak menjadi masalah. Misalnya, permintaan untuk diperiksa di tempat tertentu, menunda-nunda waktu pemeriksaan. Ini ada koridor hukumnya. Jadi sepanjang Hukum Acara Pidana membolehkan, maka itu wajar dilaksanakan.
Kedua, sikap kehati-hatian yang sepenuhnya dilakukan oleh penyidik atau APH. Karena sedikitpun ada celah kelemahan dalam proses penanganan, maka akan dikoreksi melalui perlawanan hukum atau gugatan hukum, misalnya dengan mengajukan Pra Peradilan. Sehingga pada konteks sikap kehati-hatian ini, terkadang membuat proses menjadi kurang sat-set, atau cepat menurut menilaian publik.
Kondisi yang demikian bukan berarti menjadi hambatan, namun justru menjadi tantangan dan akan berdampak positif ke depannya untuk bersikap lebih profesional, proporsional dan menjunjung tingga hak asasi manusia.
Harapan lainnya, akan menjadi kebiasaan perlakuan, sehingga tidak muncul kesan pembedaan perlakuan pada tahapan penyidikan atau pada proses hukum lainnya seperti penuntuan hingga pemeriksaan di persidangan.
Akhirnya, artikel ini ditutup dengan satu paragraf: