Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Penanganan Syahrul Yasin Lampo, KPK Tebang Pilih atau Skala Prioritas?

18 Oktober 2023   08:49 Diperbarui: 18 Oktober 2023   20:40 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KOMPAS.com/IRFAN KAMIL)

Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menangani dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pertanian, dengan Syahrul Yasin Lampo sebagai tersangka bersama dengan Sekretaris Jenderal Kementan RI serta Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan RI.

Diketahui, Syahrul Yasin Lampo merupakan kader Partai Nasdem, yang mengusung Anies Baswedan sebagai Bacawapres bersama Cak Imin. Bisa jadi penetapan tersangka ini, memunculkan asumsi bahwa KPK tengah bermain politik, mencampur adukan kewenangan dalam pemberantasan korupsi di tengah arus politik pencapresan tadi. Intinya KPK diduga tebang pilih. Benarkah asumsi ini?

Bila tebang pilih dimaknakan sebagai sikap memilih-milih mana perkara yang harus ditangani dan diprioritaskan, tentu KPK harus melakukan hal ini. Mengapa?

Karena KPK harus menelisik mana perkara yang masuk "kakap" dan mana yang "teri". Hal ini berdasarkan, kemampuan dan keterbatasan yang ada di KPK, dibandingkan dengan kuantitas atau jumlah pengaduan masyarakat terkait korupsi pada KPK. Bila misalnya penanganan berdasarkan nomor urut pengaduan, sebagaimana antri beli tiket di stadion bung Karno misalnya, tentu tidak efektif.

Sebagai gambaran laporan pengaduan masyarakat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima sebanyak 4.623 laporan pengaduan dari masyarakat terkait dugaan korupsi selama tahun 2022.

Pengaduan itu masuk ke Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM), dari total 4.623 pelaporan, 363 diantaranya tidak memenuhi kriteria laporan dugaan tindak pidana korupsi sehingga diarsipkan.

Kemudian, 4.260 laporan dilanjutkan pada proses verifikasi. 1.631 pengaduan ditindaklanjuti untuk penelaahan. Sedangkan 2.414 laporan belum dapat ditindaklanjuti karena tidak disertai dengan uraian dugaan fakta tindak pidana korupsi. republika.co.id

Dengan fakta tersebut, maka yang dilakukan oleh KPK dengan melibatkan dan mengerahkan pegawainya yang berjumlah sekitar 1.500 pegawai, yang langsung menangani perkara atau yang terlibat langsung pada core bisnis penyidikan berada pada Kedeputian Penindakan dan Eksekusi yang jumlahnya tidak lebih dari 500 pegawai.

Jumlah ini dirinci lagi, penyidik yang khusus menangani perkara jumlahnya tidak lebih dari 140 orang. Mereka terbagi dalam 20 Satuan Tugas. Menangani perkara korupsi membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bisa dua hingga 6 bulan bahkan lebih tergantung tingkat kesulitannya.

Karena bukan sekedar pemberkasan, namun juga mengutamakan aset tracing dan pemulihan aset. Artinya dalam rentang waktu satu tahun, masing-masing Satgas harus bisa menyelesaikan antara 4-5 perkara.

Sebagaimana data di tahun 2022 tadi, disebutkan 4.260 laporan yang dilanjutkan pada proses verifikasi 1.631 pengaduan. Dari angka 1.631 inilah yang berpotensi untuk ditangani oleh penyidik yang jumlah ada 20 Satuan Tugas.

Maka, dalam satu tahun bisa dihitung, sekitar 100 perkara yang bisa dituntaskan dari 1.631 pengaduan yang terverifikasi. Sisanya bagaimana?

Sekitar 1.500 pengaduan tadi, bisa jadi akan menjadi tunggakan atau pekerjaan rumah untuk diselesaikan tahun berikutnya. Belum bila di tengah penanganan perkara ini ada Operasi Tangkap Tangan (OTT), sehingga menyita waktu dan tenaga dari perkara yang case building tadi.

Dengan kondisi seperti ini, bila tidak dengan skala prioritas atau bahasa umumnya sering disebut tebang pilih, dengan opsi misal berdasar nomor urut atau tanggal pengaduan masyarakat dan sudah terverifikasi tadi, tentu akan tidak efektif.

Bagaimana kriteria yang dipakai oleh KPK? Sesuai dengan UU Nomor 19/2019 tentang KPK, korupsi yang ditangani yaitu melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit 1 miliar rupiah.

Terkait tebang pilihnya KPK dalam penanganan perkara, setidaknya ada dukungan elemen masyarakat, saya kutipkan sebagai berikut: Keinginan masyarakat agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tebang pilih dalam penangani korupsi, ternyata dianggap tidak efektif dalam upaya pemberantasan korupsi. Indonesia Coruption Watch (ICW) justru menginginkan KPK tebang pilih dalam menangani korupsi.

"Kami menyarankan agar KPK melakukan tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. Yakni, hanya menangani kasus besar dengan tingkat hambatan politik yang tinggi," ujar Koordinator Bidang Informasi ICW, Adnan Topan Husodo, saat jumpa pers di kantor ICW, Kalibata dikutip dari bpkp.go.id

Saya memahami, pada kasus Mantan Menteri Pertanian, yang ditetapkan sebagai tersangka di tengah-tengah perjalanan tahapan negeri ini melakukan pesta demokrasi, tentu akan memunculkan asumsi dan dugaan KPK bermain politik.

Sebuah analisis yang wajar dan tentunya harus dipahami pula, bahwa tidak mudah di KPK mengatur sebuah perkara, memilih-milih perkara, tanpa kriteria tadi atau memilih perkara dengan sasaran tertentu. Keputusan penyidikan sebuah perkara diambil melalui mekanisme dan proses panjang dan melibatkan peran pengawas internal dan Dewan Pengawas, yang tidak serta merta hanya dengan keinginan salah satu orang, misalnya salah satu pimpinan KPK, semua bisa terwujud.

Sangat tidak mudah menjadikan pimpinan KPK yang berjumlah 5 orang dan bersifat kolektif kolegil, organ kedeputian yang terlibat langsung dan tidak langsung pada proses core bisnis penyidikan, team supporting, Jaksa KPK, pengawas internal, disatukan suaranya atas permintaan satu orang tadi. Sesuatu yang mustahil dan bila itu dipaksanakan, segera akan viral. Pasti.

Salah satu indikator KPK bekerja berlandas hukum, bukan karena alasan politis misalnya, ditegaskan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghuron sebagai berikut:

Bahwa KPK sangat terbuka untuk diuji jika ada pihak yang merasa diproses hukum oleh KPK, tapi tidak didasari oleh alat bukti atau tidak cukup bukti. Ghufron lantas memamerkan data KPK yang memperlihatkan 99 persen tuntutannya terhadap pelaku korupsi selalu menang di pengadilan.

"Silakan untuk dibuktikan. Dan alhamdulillah semua proses pembuktian di pengadilan yang dituntut oleh KPK, 99 persen dinyatakan terbukti," kata Ghufron.

"Itu artinya tidak ada unsur non hukum dalam proses hukum yang kami lakukan. Sehingga, menurut kami, bekerjalah sesuai hukum dalam proses ketatanegaraan ini," imbuhnya.

Jadi, menjaga marwah KPK sebagai pemberantas korupsi yang independen, dalam system yang ada di KPK saat ini, tidak mudah melakukan "tebang pilih" perkara hanya untuk memenuhi keinginan salah satu pihak, namun "tebang pilih" tadi dilakukan atas dasar skala prioritas sebagaimana diamanatkan dalam UU No 19 Tahun 2019 tadi.

***

Salam Anti Korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun