Sebagaimana data di tahun 2022 tadi, disebutkan 4.260 laporan yang dilanjutkan pada proses verifikasi 1.631 pengaduan. Dari angka 1.631 inilah yang berpotensi untuk ditangani oleh penyidik yang jumlah ada 20 Satuan Tugas.
Maka, dalam satu tahun bisa dihitung, sekitar 100 perkara yang bisa dituntaskan dari 1.631 pengaduan yang terverifikasi. Sisanya bagaimana?
Sekitar 1.500 pengaduan tadi, bisa jadi akan menjadi tunggakan atau pekerjaan rumah untuk diselesaikan tahun berikutnya. Belum bila di tengah penanganan perkara ini ada Operasi Tangkap Tangan (OTT), sehingga menyita waktu dan tenaga dari perkara yang case building tadi.
Dengan kondisi seperti ini, bila tidak dengan skala prioritas atau bahasa umumnya sering disebut tebang pilih, dengan opsi misal berdasar nomor urut atau tanggal pengaduan masyarakat dan sudah terverifikasi tadi, tentu akan tidak efektif.
Bagaimana kriteria yang dipakai oleh KPK? Sesuai dengan UU Nomor 19/2019 tentang KPK, korupsi yang ditangani yaitu melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit 1 miliar rupiah.
Terkait tebang pilihnya KPK dalam penanganan perkara, setidaknya ada dukungan elemen masyarakat, saya kutipkan sebagai berikut: Keinginan masyarakat agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tebang pilih dalam penangani korupsi, ternyata dianggap tidak efektif dalam upaya pemberantasan korupsi. Indonesia Coruption Watch (ICW) justru menginginkan KPK tebang pilih dalam menangani korupsi.
"Kami menyarankan agar KPK melakukan tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. Yakni, hanya menangani kasus besar dengan tingkat hambatan politik yang tinggi," ujar Koordinator Bidang Informasi ICW, Adnan Topan Husodo, saat jumpa pers di kantor ICW, Kalibata dikutip dari bpkp.go.id
Saya memahami, pada kasus Mantan Menteri Pertanian, yang ditetapkan sebagai tersangka di tengah-tengah perjalanan tahapan negeri ini melakukan pesta demokrasi, tentu akan memunculkan asumsi dan dugaan KPK bermain politik.
Sebuah analisis yang wajar dan tentunya harus dipahami pula, bahwa tidak mudah di KPK mengatur sebuah perkara, memilih-milih perkara, tanpa kriteria tadi atau memilih perkara dengan sasaran tertentu. Keputusan penyidikan sebuah perkara diambil melalui mekanisme dan proses panjang dan melibatkan peran pengawas internal dan Dewan Pengawas, yang tidak serta merta hanya dengan keinginan salah satu orang, misalnya salah satu pimpinan KPK, semua bisa terwujud.
Sangat tidak mudah menjadikan pimpinan KPK yang berjumlah 5 orang dan bersifat kolektif kolegil, organ kedeputian yang terlibat langsung dan tidak langsung pada proses core bisnis penyidikan, team supporting, Jaksa KPK, pengawas internal, disatukan suaranya atas permintaan satu orang tadi. Sesuatu yang mustahil dan bila itu dipaksanakan, segera akan viral. Pasti.
Salah satu indikator KPK bekerja berlandas hukum, bukan karena alasan politis misalnya, ditegaskan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghuron sebagai berikut: