Pertanyaannya, bukankah polisi dalam hal ini yang harus mencari dan mengumpulkan alat bukti? Mengapa beban menemukan bukti justru diberikan pada pelapor? Apakah bukan terbalik logikanya?
Bukti pendukung dalam konteks ini tentunya berupa bukti-bukti awal, sehingga menguatkan apa yang menjadi narasi obyek pelaporan, sehingga "cukup" bisa memberikan keyakinan bahwa yang dilaporkan tersebut diduga memenuhi unsur tindak pidana. Konstruksi atau materi pelaporan yang didukung dengan bukti-bukti awal tadi, dipastikan tidak akan menjadi polisi "mengelak" untuk menerima laporan dugaan tindak pidana.
Keempat, dalam konteks isu kekinian menjelang pesta demokrasi tahun 2024, jelas bahwa polisi harus netral, sehingga siapapun yang melaporkan atau dilaporkan, dasar tindakannya adalah berdasarkan hukum, bukan masalah suka atau tidak suka, atau adanya "pesanan" dari pihak tertentu.
Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa dalam Pasal 28, bahwa di Ayat (1) Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Dan Ayat (2) anggota Polri tidak menggunakan hak memilih dan dipilih, serta beberapa ketentuan lainnya, yang mengikat kuat Polri untuk netral dalam perhelatan demokrasi tadi.
Demikian kiranya menjadi pemahaman bersama, sehingga ke depannya tidak ada lagi syak wasangka, prasangka buruk atau memojokan polisi hanya karena sebuah laporan yang ditolak atau diterima.
Semua berproses dan melalui tahapan transparansi yang tengah digelorakan di era Kapolri, Pak Listyo Sigit Prabowo saat ini.
Bravo dan Jayalah Polri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H