Bila mencermati Kinerja polisi, maka ada sebuah pertanyaan mengemuka, apa yang menjadi dasar polisi menolak laporan?
Karena sering terjadi, berkembang asumsi-asumsi atau praduga, bahwa laporan yang disampaikan seseorang atau pihak pelapor, bisa saja diterima atau di tolak, tanpa merujuk dasar penolakannya.
Sebaliknya, obyek laporan yang diasumsikan sebenarnya bukan ranah kewenangan polisi, justru diterima sehingga memunculkan istilah kriminalisasi.
Hal ini, menurut saya perlu diluruskan bersama, jangan sampai terjadi pembiasan terkait kewenangan polisi tersebut.Â
Karena jelas, polisi bekerja atas nama hukum, bertindak berdasarkan hukum, bukan dengan like and dislike, suka atau tidak suka, bisa dipolitisir atau dipengaruhi oleh kekuasaan.
Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 polisi merupakan alat negara sebagai berikut:
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Pasal 3 atau (3) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di SPKT/SPK (Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu) melakukan kajian awal guna menilai layak/ tidak layak laporan atau pengaduan untuk dibuatkan Laporan Polisi.
Berpijak pada ketentuan ini, dalam menegakan hukum maka aturannya sudah jelas yaitu mengacu pada hukum formil maupun hukum materil yang berlaku di negeri ini.
Ruang lingkup bagaimana sebuah laporan diterima atau tidak, secara jelas berdasarkan aturan tadi, dengan pemahaman yang mudah sebagai berikut: