Ketika kita tengah ada hajat, mereka pula yang pertama ikut "mengayu bagyo" atau ikut bantu-bantu. Bahkan dalam suasana kedukaan, mereka pula yang dengan sigap berbuat meringankan dan ikut merasakan apa menjadi kesedihan kita. Tetangga-lah yang pertama melakukan sesuatu, sebelum saudara kita yang nun jauh berdatangan.
Kedua, membaur dengan tetangga atau warga sekitar kita tinggal, menjadikan hidup penuh makna. Dari interaksi dengan tetangga akan terjadi komunikasi, memunculkan semangat kebersamaan serta mewujudkan makna bahwa hakikatnya kita adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak mungkin berdiri di kaki sendiri.
Ini akan menjauhkan dari sikap ego, menjadi cerminan  dan motivasi untuk pengukuhan sifat untuk mau berbagi dengan sesama. Apalah arti hidup bila menafikan keberadaan orang lain? Tentu akan menjadi pihan yang akan menyengsarakan diri bila ada yang memilih demikian.
Ketiga, menjadikan tetangga sebagai bagian dari kehidupan keluarga kita, akan menempatkan kita pada zona yang nyaman, harmonis dan bahagia. Tengok-lah mereka yang punya "hobi" menjauhi tetangga, ia akan terperosok sendiri pada lobang isolasi. Ia tidak akan lagi dianggap ada, walau kenyataannya ada. Sangat ironis tentunya.
Maka momen kumpul, makan bersama dan kemudian melantunkan doa setelah solat iedul fitri, seolah menjadi simfoni merdu dalam kehidupan ini. Jangan sampai kita, keluarga kita mengalami "kecelakaan sosial", dengan menghindar untuk interaksi penuh harmoni dengan tetangga kita.
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H