Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Simfoni Indah Bersama Tetangga

2 Mei 2023   07:39 Diperbarui: 2 Mei 2023   08:18 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rangkaian berakhirnya Ramadan dan masuk ke Idul Fitri, menyirat dan menyuratkan rasa syukur yang mendalam. Oleh karenanya, setelah hampir 2 minggu saya tidak "menyentuh" kompasiana, pagi ini, tangan kembali di atas tuts laptop. Ingin rasanya menuang dan membagi penggalan kisah yang sangat mengesankan. Namun sebelumnya, berkenan saya mengucapkan Mohon Maaf Lahir dan Batin, kepada semua teman, kolega dan sahabat serta keluarga besar Kompasiana.

Menjadi sebuah momen yang sangat dirindukan, ketika tabuh bedug takbir menggema dan suara takbir dari musola di lingkungan tempat tinggal saya. Pagi itu, sepuluh hari yang lalu, di depan rumah, hanya berbatas jalan komplek, dilaksanakan solat ied. Ratusan warga sekitar musola Al Gozi, Perumahan Pisma Griya, Batang, Jawa Tengah berkumpul dan bersama melaksanakan solat ied. Biasa, seperti solat di tempat lain, tak ada yang berbeda.

Bisa jadi, yang membedakan dan sebagian masih melaksanakan adalah dilaksanakannya "selamaten-riyoyo", sebuah tradisi berkumpul, untuk berdoa bersama setelah solat ied dilanjutkan dengan bersalam-salaman, manifestasi dari silaturahmi tetangga. Namun, sebelumnya, makan dan minum bersama. Makanan seperti opor ayam, ayam goreng, sayur lodeh, kupat, lontong atau nasi dibawa oleh masing-masing keluarga.

Foto Dokemen Pribadi
Foto Dokemen Pribadi

Makanan dan minuman yang terkumpul, sebelum dinikmati bersama, diselipkan doa yang dipimpin oleh tetua warga. Dalam doa terselip permohonan bersama agar Alloh selalu memberkahi semua. Sebuah jalinan kebiasaan yang hanya dilaksanakan setahun sekali. Ini sangat menyentuh kalbu.

Betapa nikmat kami menikmati makanan yang tersaji, hasil olahan para ibu dan remaja putri. Kami semua tertawa gembira, penuh bersyukur, berkumpul dalam suasana akrab dan menyenangkan. Kami memang bertetangga, namun karena kesibukan masing-masing, nyaris canda tawa, kumpul bersama dan makan minum seperti itu, menjadi sesuatu yang langka.

Sebuah pertanyaan muncul, bila tradisi seperti itu tidak dilestarikan, apakah masih ada waktu dan kesempatan untuk berkumpul dengan para tetangga, saling tawa bersama sambil menikmati lezatnya makan dan segarnya minum pascasolatiedul fitri?

Foto Dokemen Pribadi
Foto Dokemen Pribadi

Kesibukan masing-masing, seolah membuat jarak di antara warga. Ada yang sibuk dengan mengolah sawah, bekerja di kantor atau bahkan bekerja di luar kota seperti saya? Tak ada waktu untuk berkumpul-kumpul dengan para tetangga, adalah sebuah "kecelakaan sosial". Saya menggunakan bahasa ini dengan alasan sebagai berikut :

Pertama, tetangga atau warga sekitar kita merupakan saudara terdekat kita. Mereka-lah yang pertama kali ikut merasakan apa yang kita rasakan, saat kita sakit, mereka yang pertama datang penuh empati.

Ketika kita tengah ada hajat, mereka pula yang pertama ikut "mengayu bagyo" atau ikut bantu-bantu. Bahkan dalam suasana kedukaan, mereka pula yang dengan sigap berbuat meringankan dan ikut merasakan apa menjadi kesedihan kita. Tetangga-lah yang pertama melakukan sesuatu, sebelum saudara kita yang nun jauh berdatangan.

Foto Dokemen Pribadi
Foto Dokemen Pribadi

Kedua, membaur dengan tetangga atau warga sekitar kita tinggal, menjadikan hidup penuh makna. Dari interaksi dengan tetangga akan terjadi komunikasi, memunculkan semangat kebersamaan serta mewujudkan makna bahwa hakikatnya kita adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak mungkin berdiri di kaki sendiri.

Ini akan menjauhkan dari sikap ego, menjadi cerminan  dan motivasi untuk pengukuhan sifat untuk mau berbagi dengan sesama. Apalah arti hidup bila menafikan keberadaan orang lain? Tentu akan menjadi pihan yang akan menyengsarakan diri bila ada yang memilih demikian.

Ketiga, menjadikan tetangga sebagai bagian dari kehidupan keluarga kita, akan menempatkan kita pada zona yang nyaman, harmonis dan bahagia. Tengok-lah mereka yang punya "hobi" menjauhi tetangga, ia akan terperosok sendiri pada lobang isolasi. Ia tidak akan lagi dianggap ada, walau kenyataannya ada. Sangat ironis tentunya.

Maka momen kumpul, makan bersama dan kemudian melantunkan doa setelah solat iedul fitri, seolah menjadi simfoni merdu dalam kehidupan ini. Jangan sampai kita, keluarga kita mengalami "kecelakaan sosial", dengan menghindar untuk interaksi penuh harmoni dengan tetangga kita.

Mohon Maaf Lahir dan Batin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun