Mohon tunggu...
Albert Purba
Albert Purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Ad Majorem Dei Gloriam

Membahasakan pikiran dengan kata dan aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Orang Baik Absen dalam Gelanggang Politik

14 Februari 2021   18:55 Diperbarui: 14 Februari 2021   19:14 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kekuasaan Yang Dangkal 

Suatu ketika, saat Israel belum menjadi menjadi sebuah negara kerajaan di bawah Saul dan kemudian di bawah dinasti Daud, bangsa itu adalah sebuah konfederasi suku-suku yang dipersatukan oleh agama dan iman kepada Yahwe. Mereka dipersatukan oleh Taurat dan  kesatuan tradisi yang terus menerus diajarkan dan dikisahkan dari generasi ke generasi. 

Tanpa kehadiran seorang raja bangsa itu bisa bertahan, bilamana mereka mengalami penjahahan dan diperintah oleh bangsa lain, maka mereka bersatu dan dari antara mereka bangkit seorang pemimpin karismatik yang disebut Hakim (Ibrani: Syofet) untuk memimpin gerakan kemerdekaan dari musuh-musuh mereka. 

Pada periode inilah muncul tokoh-tokoh berpengaruh dan menyandang nama besar seperti Yefta, Gideon, Simson dan Samuel. Uniknya, tokoh-tokoh ini tidak pernah berusaha menegakkan sebuah tahta dan mengklaim diri sebagai raja atau membangun sebuah dinasti politik. Mereka masih taat kepada tradisi bahwa hanya ada satu raja di Israel yakni Allah sendiri.

Namun, ada satu babak dalam periode ini di mana seorang ingin merajakan diri. Alkitab menyebut namanya sebagai Abimelekh bin Yerubaal, seorang yang mengangkat diri menjadi raja di kota Sikhem dengan mengembangkan sebuah narasi politik  yang sempit dan rendahan (Hakim-hakim 9). 

Narasi yang dikembangkannya ialah politik identitas yang disertai kebencian terhadap pihak lain. Narasi politiknya yang berbahaya itu disertai juga dengan pembunuhan politik terhadap anak-anak Yerubaal. Ada sekitar 70 orang yang dia bunuh hanya demi memuluskan niat dan nafsunya menjadi penguasa, dan ironisnya semua yang terbunuh itu adalah saudaranya sendiri, satu ayah lain ibu.

Hanya seorang dari anak Yerubaal yang selamat, dialah Yotam yang pada hari semua saudaranya terbunuh lari dan menyembunyikan diri untuk menyelamatkan nyawanya. 

Di kemudian hari, Yotam bangkit melawan Abimelekh. Perlawanannya dilakukan dengan berdiri dari puncak bukit dan mengisahkan sebuah fabel tentang pemilihan pemimpin di antara tetumbuhan. Pohon Saitun, Ara dan Anggur tidak mau diangkat menjadi raja, karena mereka tidak mau meninggalkan tugas mulia mereka demi menjadi penguasa semua tanaman. Saat Onak Duri ditawari jabatan itu, dia segera mengiyakan dan segera bertitah bahwa setiap tumbuhan harus berlindung di bawah naungannya.

Fabel ini adalah sebuah kritik terhadap kekuasaan. Kekuasaan diperlihatkan sebagai suatu yang mengancam dan bisa bahkan siap melukai. Mungkin karena kekuasaan atau politik itu dianggap rendahlah yang menjadi alasan alasan Pohon Saitun, Pohon Ara dan Batang Anggur tidak mau menerimanya. 

Mereka sudah puas dengan tugas mulianya menghasilkan suatu yang berharga, baik minyak, buah-buahan maupun minuman yang sangat disukai Allah dan manusia. Sedangkan tumbuhan duri yang tidak memiliki apa-apa selain durinya yang tajam dan mengancam tidak tahan akan godaan. 

Dia mabuk oleh kekuasaan dan begitu dia diangkat menjadi raja, perintah pertamanya ialah ada pengakuan takluk dan taat kepadanya dari seluruh tumbuhan. Kekuasaan menjadi liar dan tak terkendali di tangan pihak yang berwatak liar dan machevillian.       

Ketika Duri yang tidak menghasilkan apa-apa menjadi penguasa, dia menikmati kekuasaan itu dan segera menuntut kedudukan utama di antara yang lain. Hukum pertama yang dia tegakkan ialah: Ketaatan tanpa syarat di bawah ancaman duri-durinya, dan ketidaktaatan berarti berhadapan dengan kekerasan yang siap dia laksanakan. 

Dengan ini penulis Alkitab mengingatkan betapa dangkalnya sebenarnya kekuasaan itu, apalagi bila dia mengembangkan rasa takut dan teror yang disertai narasi politik penuh kebohongan dan kebencian di antara rakyat yang diperintah.

Absennya Orang Baik Dalam Politik

Kenapa kekuasaan itu menjadi dangkal dan koruptif? Tidak lain karena absennya orang baik dalam ruang politik, dan itu berakibat fatal seperti yang dikisahkan dalam fabel di atas. Orang-orang baik, yang dalam fabel digambarkan sebagai tumbuhan yang bermanfaat tidak hadir dalam proses politik sehingga menciptakan ruang kosong yang akan dengan mudah diisi oleh tokoh-tokoh antagonis. 

Secara tersirat dalam cerita ini diperlihatkan dosa politik orang baik, yakni tokoh-tokoh yang memiliki reputasi dan dihormati karena standar moral dan hidup mereka menjadi anutan tetapi tidak mau terlibat dalam medan politik yang sengit dan sering sekali sangar.

Meski dibungkus dalam format fabel, pesan kisah ini sangat jelas bahwa diamnya orang baik, tidak ikut serta dalam proses politik berarti membuka peluang kepada orang jahat menjadi pejabat merupakan ancaman kepada rakyat. 

Dalam konteks kebangsaan dan kemasyarakatan kita saat ini, yang menjadi pertanyaan: siapakah orang baik itu? Mungkin sulit mendefiniskan istilah tersebut menjadi sosok personal apalagi menjadi balon atau calon kepala daerah. Namun setidaknya, sosok itu hadir dalam imajinasi rakyat, dia disebut-sebut dalam percakapan politik tentang siapakah yang layak memimpin. 

Dia juga bisa hadir dalam diri tokoh agama, tokoh masyarakat, cerdik cendikiawan dan aparat pemerintah yang jujur dan menjaga wibawa sumpah dan jabatannya. 

Dia hadir dalam impian-impian rakyat dan khotbah-khotbah pemuka agama yang mengajar cara memilih yang sehat bagi demokrasi kita. Orang-orang baik itu adalah politisi sekaligus  negarawan, yang visioner, yang cakap memerintah dan dipilih rakyat karena keteladanan dan ketokohan bukan karena uangnya.

Menyikapi Pemilihan Pemimpin Politik

Pemilu dan Pilkada yang melibatkan segenap warga masyarakat yang berhak memilih adalah buah dari reformasi yang diperjuangkan tokoh demokrasi dan mahasiswa. 

Perjuangan itu harus dibayar mahal oleh gugurnya mereka di medan demonstrasi, namun semua itu tidak sia-sia karena ada perubahan mendasar dalam tata politik dan kebangsaan kita. Kita bisa menyaksikan betapa banyak anak bangsa yang terpilih menjadi pemimpin di pusat maupun daerah karena mereka memang lahir dari rakyat sendiri.

Tetapi tidak bisa juga dipungkiri, banyak juga petualang politik yang menjadi pejabat yang ironisnya berakhir sebagai penjahat. Mereka, baik perorangan maupun berkelompok menjadi garong uang rakyat, memainkan cara-cara kotor dan ketika tertangkap mereka dicap sebagai koruptor. Apakah ini melulu kesalahan mereka? Di satu sisi kita bisa katakan ya! Karena mereka punya kehendak bebas untuk mengatakan tidak kepada korupsi atau cara-cara memimpin yang tidak benar. 

Di sisi lain, kesalahan terletak juga di pundak dan tangan para pemilihnya. Dalam hal ini, kita harus mengingat apa yang sudah sering diingatkan oleh para akademisi politik, bahwa: Rakyat yang bodoh akan melahirkan pemimpin yang bodoh. Pemimpin yang korup dihasilkan oleh pemilih yang tidak kalah korup.

Memang tidak serta merta memilih orang baik mengubah sebuah daerah: kabupaten atau povinsi menjadi lebih baik sebab banyak sekali faktor yang menentukan kemajuan dan kesejahteraan, namun setidaknya orang itu bisa memberi harapan. Dengan memilih orang baik menjadi pemimpin kita berharap keputusan-keputusan politik yang diambilnya adalah sebuah keputusan yang benar-benar berdasarkan pertimbangan moral, dan meski berat dia bersedia memikul risiko itu sebagai salibnya.

Namun untuk melahirkan seorang pemimpin yang baik butuh rahim demokrasi yang baik pula. Rahim demokrasi yang baik yang dimaksud ialah proses dari sejak pencalonan dan pemilihan serta proses berjalannya kekuasaan itu. 

Dalam hal ini, rakyat dan para pemilih pertama-tama yang harus melakukan pertobatan politik dengan berani mengatakan tidak kepada calon yang sudah dikenal tidak baik dan mengatakan ya kepada calon yang memang sudah teruji kapabilitas dan kredibilitasnya. Pertobatan politik ini harus menjadi gerakan bersama, sulit memang tetapi tidak berarti tidak bisa dilakukan. Yang dibutuhkan hanya niat dan keinginan mewujudkan kesejahteraan bersama.

Di sinilah letak urgensi Gereja dan tentunya juga semua pemuka agama yang ada di Indonesia, berbicara dalam politik, supaya terpilih pemimpin yang baik itu. Memang gereja tidak dapat menolak siapa saja yang datang untuk minta didoakan untuk maju sebagai calon pemimpin (kepala daerah). Namun untuk memenangkan orang baik maka gereja harus mengajarkan teologi politik yang menyadarkan warga jemaat tentang cara memilih yang  baik. Yesus sendiri memakai istilah politik dalam khotbah-khotbah-Nya. 

Dia berbicara mengenai surga, tentang Kerajaan Allah. Namun kerajaan yang dimaksud Yesus ini bukan sebuah negara monarki atau republik. Yesus berbicara tentang kedaulatan Allah (Inggris: sovereignity) bukan kerajaan (Inggris: Kingdom). Memang sulit memahami pesan pesan dan partisipasi politik Yesus, sampai-sampai Pilatus dan Herodes sendiri bingung dibuatnya. Albert Noland menulis, bahwa Yesus adalah seorang revolusioner. 

Dia memang bukan tokoh revolusi dalam istilah politik yang mengubah struktur kekuasaan dan ketatanegaraan melainkan tokoh revolusi sosial yang mengubah pola hubungan antara sesama manusia (Noland, 2009:86). Bila teladan ini diikuti oleh para pemangku kekuasaan maka akan tercipta masyarakat yang adil dan makmur.

Gereja harus terlibat dalam politik. Sebab politik itu tidak hanya berurusan dengan kekuasaan melainkan juga dengan kebijakan, keberpihakan kepada kesejahteraan rakyat, harga beras, obat-obatan, pupuk untuk petani bahkan urusan yang paling kecil pun seperti kebersihan dan keindahan lingkungan atau soal tempat parkir kendaraan. 

Politik yang diusung gereja ialah politik moral yang bertujuan menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi. Dari perspektif ini pula dapat dikatakan bahwa dunia politik adalah ladang misi bagi gereja, dan menjadi perwujudan dari semboyan: Menjadi Gereja Misioner.

Pilihlah Yang Baik, Jangan Yang Jahat!

Seruan ini, menyitir ucapan nabi Amos kepada bangsa Israel di tengah masifnya perayaan keagamaan tapi minus keadilan (Amos 5:14). Di tengah maraknya praktek kesalehan ritual justru bangsa itu terperosok kepada defisit kesalehan sosial. 

Gereja sangat mengenal seruan ini dan sering sekali seruan ini dipakai menjadi tema perayaan gerejawi.  Kini sudah saatnya menjadikan seruan ini tidak sekedar menjadi tema perayaan atau seruan liturgis belaka melainkan seruan politis sehingga terbuka kesadaran dalam partisipasi politik jemaat sebagai pemilih.

Untuk itu gereja sendiri harus memperlihatkan kebaikan itu, misalnya tidak membuat pesta-pesta gerejawi apakah pesta pembangunan gedung atau pengumpulan dana yang mengundang calon-calon untuk datang dan memberikan sumbangan. Ini penting, sebab para calon yang sudah menghabiskan biaya politik yang banyak akan berusaha mengembalikan "modal" setelah mereka duduk di kursi kekuasaan. 

Mental pejabat korup ini tidak jauh dari investor atau pedagang saja, dia memberi sedikit untuk membeli suara kemudian dia meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Hal lain yang dapat dilakukan gereja ialah, melakukan kontrak politik dengan para calon kepala daerah, bahwa dia tidak akan melakukan kecurangan, jujur menjalankan roda pemerintahan, tidak melakukan politik uang dan kriteria moral lainnya. 

Gereja juga harus berani berkata kepada para calon bahwa mendoakan mereka adalah sebuah tindakan berisiko bagi gereja, sebab mendoakan orang yang tidak menghayati doa itu ketika melakukan proses politik membawa gereja berurusan dengan Pengadilan Otoritas Tertinggi yakni Allah sendiri. Dengan mengatakan hal ini, doa itu tidak dipandang sebagai sebuah tindakan berkata-kata tanpa ada hubungan dengan kehidupan kekal.

Kesimpulan

Sekali lagi perlu diingatkan bahwa memilih seseorang yang tidak layak menjadi pemimpin sama dengan menobatkan Onak Duri menjadi tempat bernaung. Duri tidak menghasilkan apa-apa kecuali ketakutan dan rasa risih dan penderitaan bagi siapa saja yang ada di dekatnya. Pemimpin tipikal Onak Duri adalah pemimpin yang menang dengan cara-cara curang yang selanjutnya akan membawa rakyat ke dalam jurang.

 Akhir kata, hanya ada satu pilihan, yakni: Pilihlah Orang Baik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun