Mengapa G20 bisa bersikap seolah-olah menjadi “Steering Committee” dunia? Padahal G20 merupakan sebuah forum eksklusif yang tidak mendapatkan mandat dari sebagian besar negara di dunia untuk mengambil keputusan mengatasnamakan mereka?
G20 secara total memang menguasai 80 persen GDP global, 75 persen nilai perdagangan internasional, dua pertiga populasi dunia, dan wilayahnya meliputi 60 persen daratan yang ada di bumi. Apalagi total voting power G20 di berbagai lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia mencapai lebih dari 85 persen, yang artinya sudah memenuhi kuorum untuk pengambilan keputusan. Apakah angka-angka itu menunjukkan realita sistem internasional yang berprinsip “those who has the money has the power and therefore will make the rules”?
Secara naluri, penjelasan di atas seolah bisa menjelaskan kenapa G20 dianggap layak diposisikan sebagai forum yang menentukan arah kebijakan global, khususnya di sektor ekonomi dan keuangan. Namun seperti dikatakan satiris Amerika ternama H.L. Mencken, “Setiap permasalahan yang kompleks pasti akan selalu ada jawabannya yang sederhana, masuk akal, dan salah.”
Memang betul bahwa ukuran ekonomi G20 yang sangat besar menyebabkan tidak satu pun negara di dunia ini yang bisa begitu saja mengabaikan keputusan yang diambil G20 dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang dikuasai mereka. Selama G20 konsisten menjalankan komitmen dan mengeluarkan kebijakan domestik yang merefleksikan keputusan G20, maka interkoneksi kebijakan yang terjadi di antara mereka akan menciptakan semacam jaring laba-laba lintas batas dan benua, yang sulit dihindari aktor-aktor non G20 dalam aktivitas internasionalnya dan membuat mereka berada dalam jangkauan keputusan G20.
Namun untuk mengatakan bahwa ukuran ekonomi membuat G20 mampu berperan sebagai steering committee global tidak sepenuhnya tepat. Realita sesungguhnya jauh lebih kompleks.
Sebagian pihak berpandangan, kemampuan G20 menghasilkan “kebijakan berdampak global” dikarenakan sejak awal terdapat upaya untuk membatasi ruang lingkup isu yang dibahas di G20, yaitu dibatasi di isu-isu yang berada dalam jangkauan instrumen kebijakan otoritas keuangan dan bank sentral.
Hal ini semata karena memang G20 berawal dari forum dialog kebijakan sektor keuangan, yang memang para aktor terpenting di dalam ekosistemnya adalah para negara anggota G20 dan stakeholder domestiknya. Di tulisan sebelumnya penulis telah menceritakan bagaimana calon anggota G20 dipilih berdasarkan diskusi Paul Martin dan Larry Summers, dimana tentunya background mereka sebagai menteri keuangan juga mempengaruhi dasar pemilihan komposisi anggota. Sehingga dari sejak awal DNA G20 memang adalah DNA forum keuangan.
Pasca KTT 2008, semakin banyak isu-isu kompleks non keuangan yang diusulkan untuk dibahas di G20. Hal ini menimbulkan dilema tersendiri bagi G20. Tidak saja karena dalam ekosistem isu non-keuangan tersebut beberapa aktor terpentingnya bukan merupakan anggota G20. Namun juga karena terdapat beberapa isu yang sebetulnya telah memiliki forum negosiasinya tersendiri yang memiliki mandat internasional. Fenomena “mandate creep” atau penambahan isu-isu lain walaupun tidak sesuai dengan competitive advantage G20 bahkan telah dibahas secara khusus di KTT G20 London tahun 2009, hanya lima bulan setelah KTT pertama.
Fenomena mandate creep sebetulnya merupakan tahapan yang wajar bagi siklus kehidupan sebuah forum kerja sama internasional. Kemunculan sebuah forum baru yang berhasil memecahkan masalah global akan menciptakan harapan publik terhadap kemampuan forum tersebut dalam menghasilkan terobosan (breakthrough) bagi isu global yang selama ini tidak bisa terselesaikan di forum lain.
Namun terdapat kekhawatiran G20, bahwa dimasukkannya isu-isu global yang kompleks yang belum tentu berhasil diselesaikan atau komitmen yang sulit dipenuhi, berisiko mengurangi kredibilitas G20, dan dapat berakibat menurunnya efektivitas komitmen G20 di masa depan. Bahkan pertanyaan utama para anggota G20 setiap ada pengusulan topik pembahasan baru adalah “Are we really equipped to solve this?”
Di sisi lain kekhawatiran tersebut tidak mengurangi kenyataan bahwa memang terdapat isu-isu non keuangan yang memang memiliki keterkaitan erat dengan isu keuangan yang memang perlu dibahas di G20 seperti energy and food security, perubahan iklim, anti korupsi, serta perdagangan dan investasi.