Implikasi lain dari diselenggarakannya KTT G20 adalah pembentukan forum Sherpa G20, mengacu pada sistem yang dianut KTT G7. Sherpa G20 bertugas mengkoordinasikan pembahasan dimensi lain dari krisis keuangan yang instrumen kebijakannya berada di luar lingkup otoritas keuangan dan bank sentral; seperti isu perdagangan, komoditas energi dan pangan, dan pasar ketenagakerjaan. Sherpa juga bertugas untuk melapangkan jalan bagi para kepala negara G20 dalam KTT khususnya untuk menyamakan persepsi terhadap isu-isu yang sulit dan mencegah perdebatan sengit di tingkat kepala negara. Istilah sherpa diambil dari istilah yang digunakan untuk menyebut porter Nepal yang membantu membawakan barang dan menjadi penunjuk jalan bagi para pendaki Gunung Himalaya. Saat itu belum dikenal istilah sous-sherpa, sehingga kami para asisten Sherpa secara bercanda menyebut diri kami sebagai para “Yak”, binatang asli Nepal yang juga sering digunakan para Sherpa untuk membantu membawakan barang mereka.
Begitu pentingnya peran Sherpa dalam KTT sehingga umumnya mereka merupakan tokoh senior yang mendapatkan penunjukan langsung dari kepala negara, dan memiliki akses langsung dan tak terbatas kepada kepala negara. Hal ini karena mereka harus berkoordinasi langsung agar keputusan politik tertinggi G20 bisa cepat diambil. Sebagai contoh, butir kesepakatan bahwa negara G20 siap “mengambil segala langkah yang diperlukan” untuk menstabilisasi sistem keuangan tentunya tidak akan bisa diimplementasikan tanpa persetujuan dan komitmen kepala negara.
Diskusi rencana aksi berlangsung sangat alot, dikarenakan setiap negara G20 memiliki prioritas yang berbeda untuk ditangani, dan juga kapasitas sumber daya terbatas yang dapat dimobilisasi untuk mencegah krisis semakin memburuk. Sebagai contoh, negara-negara maju yang institusi keuangannya paling terdampak oleh krisis memprioritaskan rencana aksi yang fokus kepada penyelamatan institusi keuangan dan mengembalikan kepercayaan pasar terhadap industri keuangan. Sementara negara-negara emerging G20 seperti Indonesia memiliki prioritas untuk menjaga agar krisis yang terjadi di sektor keuangan tidak merambat ke sektor riil dan memukul daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Pertanyaannya, kenapa G20 tidak memutuskan untuk mengentertain dan mengakomodir semua concern negara anggota yang berbeda-beda ke dalam rencana aksi tersebut, seperti yang lazim dilakukan dalam forum-forum kerja sama multilateral lainnya demi mencapai kesepakatan bersama? Kenapa G20 memilih untuk berdebat mati-matian di antara mereka untuk membatasi poin rencana aksi dan menghapus item yang dianggap tidak terlalu relevan, walaupun disadari relevansi itu bersifat relatif tergantung kepada posisi pandang negara yang mengusulkan?
Jawabannya adalah hal itu sengaja dilakukan agar kesepakatan G20 dapat benar-benar efektif dalam mempengaruhi sentimen pasar. Sasaran G20 adalah pelaku industri sektor keuangan yang sangat realistis dan memahami keterbatasan yang dimiliki otoritas dalam menangani sebuah permasalahan di sektor keuangan. G20 perlu menjaga agar kesepakatan yang diambil betul-betul berada dalam scope of control atau ruang kendali kebijakan sesuai mandat yang dimiliki. G20 juga menyadari setiap komitmen yang tidak dapat ditepati justru akan menimbulkan damage terhadap kredibilitas G20 dan mengurangi efektivitas keputusan yang diambil di masa depan.
Pada akhirnya, pertemuan di Sao Paolo yang dilanjutkan selama sepekan berikutnya di Washington D.C., menghasilkan 56 butir rencana aksi untuk “mencegah krisis semakin memburuk”. Kalimat itu adalah inti pesan publik dalam Rencana Aksi G20 di 2008, karena dianggap terlalu dini untuk membahas mengenai recovery, mengingat skala dan lingkup kerusakan ekonomi yang dialami sektor keuangan dan sektor riil belum dapat diukur secara pasti pada saat itu.
Rencana Aksi G20 disusun dalam format yang memungkinkan akuntabilitas dan monitoring terhadap progress pencapaiannya, serta dilengkapi dengan timeline dan penunjukan PIC dengan membentuk empat Kelompok Kerja yang bertugas menindaklanjuti kesepakatan terkait dengan reformasi menyeluruh sektor keuangan dan lembaga keuangan internasional.
Indonesia bersama dengan Perancis terpilih menjadi co-chair untuk Working Group IV yang bertugas melakukan reformasi bank pembangunan multilateral termasuk Bank Dunia, Asian Development Bank, Inter American Development Bank, African Development Bank, European Bank for Reconstruction and Development, dan Islamic Development Bank.
Rencana Aksi G20 di 2008 sering dianggap sebagai capaian tertinggi G20 sepanjang sejarahnya karena memberikan kepastian mengenai langkah yang akan diambil pemerintah G20 terhadap krisis masif yang terjadi. Pasar ternyata bereaksi positif dan gejolak yang terjadi relatif mereda pasca Rencana Aksi diluncurkan, menandakan bahwa kesepakatan G20 dipandang efektif dan memiliki kredibilitas di mata publik.
Keberhasilan Rencana Aksi itu menempatkan G20 menjadi episentrum kerja sama internasional, bahkan dianggap sebagai “Steering Committee” kebijakan global. Disebut demikian karena memang realitanya sebagian butir kesepakatan G20 memiliki konsekuensi yang lebih luas di luar keanggotaan forum tersebut.
Contohnya adalah instruksi kepada lembaga-lembaga internasional untuk menjalankan keputusan yang diambil G20 (walaupun keanggotaan lembaga tersebut meliputi negara non-G20), atau instruksi agar institusi keuangan yang beroperasi secara internasional mematuhi keputusan G20 terkait standar, regim pengaturan dan pengawasan (walaupun institusi tersebut bukan berkantor pusat di negara anggota G20).