Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan mengenai G20, dalam rangka selebrasi capaian Indonesia sebagai Presidensi G20 di 2022 yang sekaligus memperlihatkan kebangkitan Indonesia sebagai salah satu negara emerging utama dalam tata ekonomi dan keuangan global. Bagian pertama berjudul “Jalan Berliku Indonesia Menjadi Anggota G20”
-----
“Para penumpang yang terhormat, kita akan melewati zona turbulens. Harap kembali ke tempat duduk dan mengenakan kembali sabuk pengaman!” demikian pengumuman kru pesawat United Airlines UA860 yang membawa saya beserta rombongan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 dari Sao Paolo ke Washington, D.C di Senin dini hari tanggal 10 November 2008.
“Jangan pernah menaruh semua telurmu di keranjang yang sama,” demikian kata-kata bijak yang sering digunakan manajer keuangan untuk mengedukasi kliennya.
Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral tentunya sudah sangat paham makna kalimat tersebut dan selalu disiplin menerapkannya dalam setiap kebijakan yang mereka ambil. Tapi di malam itu, nasib mentakdirkan semua pejabat keuangan terpenting negara G20 terpaksa membooking pesawat yang sama, yang berangkat tepat tengah malam menuju Washington, D.C., di mana mereka berencana melanjutkan diskusinya yang belum selesai di Sao Paolo.
Tidak ada seorang pun yang terpikir untuk mengkalkulasi risiko bila terjadi apa-apa dengan penerbangan mereka, yang malam itu beberapa kali mengalami guncangan hebat. Tepat di minggu di mana sistem keuangan global sedang mengalami masa-masa terburuknya sejak periode Great Depression di era 1930-an.
Beberapa jam sebelumnya, kami baru saja menyelesaikan sesi terakhir pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20. Seperti biasa, pertemuan G20 selalu diadakan di akhir pekan karena para menteri keuangan dan gubernur bank sentral memiliki jadwal kerja domestik yang sangat padat. Pemilihan waktu tersebut juga disebabkan karena komunike G20 yang dikeluarkan mereka di Minggu sore selalu ditunggu-tunggu oleh para pelaku ekonomi dan pasar keuangan global, serta diharapkan akan menjadi berita yang mampu memberi sinyal positif saat pembukaan bursa di hari Senin keesokannya.
Berbeda dengan pertemuan-pertemuan tahun sebelumnya, pertemuan di Sao Paolo ini dilakukan dalam suasana tegang. Dua bulan sebelumnya, pasar keuangan global dikejutkan oleh kejatuhan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua badan usaha besar jasa keuangan yang disponsori pemerintah Amerika Serikat. Kejatuhan dua entitas besar itu kemudian diikuti oleh kejatuhan berbagai lembaga keuangan besar di benua Amerika dan Eropa yang merembet ke pasar keuangan di seluruh dunia. Sejak bulan September, pemburukan pasar keuangan terjadi secara cepat dari hari ke hari. Segala upaya otoritas keuangan untuk memberi sinyal positif kepada pasar selalu gagal, karena setiap harinya ada saja berita tentang institusi keuangan yang menyatakan kerugian besar akibat subprime mortgage. Tidak ada yang tahu seberapa besar interkoneksi yang terjadi antar institusi yang bermasalah, sehingga sama sekali tidak ada yang bisa memperkirakan berapa besar skala kerusakan yang ditimbulkan kepada industri keuangan global.
Ketegangan yang terjadi di pasar keuangan tercermin dalam panasnya perdebatan di ruang sidang. Sepanjang pertemuan di akhir pekan tersebut, delegasi Amerika Serikat harus menghadapi serangan bertubi-tubi melalui komentar bernada ketidakpuasan dari anggota G20 lainnya. Mereka mempertanyakan cara pemerintah Amerika menangani krisis yang sebetulnya sudah diperkirakan oleh G20 sejak tahun sebelumnya.
Bisa dibilang demikian, karena dalam pertemuan G20 di Kleinmond, Afrika Selatan setahun sebelumnya, mayoritas menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 sudah menengarai bahwa disrupsi pasar kredit yang terjadi sejak bulan Agustus 2007 bukanlah sebuah kasus terisolasi dan akan segera tertangani seperti yang selalu disuarakan oleh delegasi Amerika Serikat. Berbagai indikator menunjukkan bahwa disrupsi yang terjadi sejak bulan Agustus hanyalah sebuah puncak gunung es dari permasalahan sistemik yang terjadi di pasar subprime mortgage Amerika, yang apabila tidak ditangani secara serius akan merembet dan mengakibatkan bencana pasar keuangan global yang lebih luas.
Sebegitu mengkhawatirkannya sinyal-sinyal tersebut sehingga agenda utama pertemuan Sao Paolo adalah membahas laporan dari Kelompok Studi G20 yang dibentuk di awal tahun yang diberi nama G20 Study Group on Global Credit Market Disruptions. Kelompok Studi ini memiliki mandat untuk mempelajari penyebab inti (root causes) dari terjadinya default di sektor subprime mortgage Amerika Serikat, dan bagaimana kerugian yang dialami lembaga keuangan bisa berlipat ganda dan menyebar ke berbagai institusi keuangan, termasuk bertransmisi ke negara emerging.