Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Budaya

Alumnus Universitas Islam Indonesia 2001. Pecinta budaya dan humaniora

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jendela Mbah Badut

5 Februari 2024   10:08 Diperbarui: 19 Februari 2024   08:14 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aan, Pulang!!! , dan semuanya saja pulang!!!", teriak lantang ayahnya Aan. Aan beserta empat orang temannya masih diam tercenung, menundukkan muka, kaget dan takut. Lelaki itu mendatangi Aan, menjewer telinganya dan menariknya pulang. Dewi, Puspa, Wati dan Andi mengikuti dari belakang, sambil melirik jendela Mbah Badut yang sudah tertutup rapat. Nampaknya Mbok Ginem selama ini memantau kegiatan mereka di setiap jumat sore, lalu lapor kepada majikannya, ayahnya Aan. Sesampai di rumah, Aan dimarahi ayahnya.

"Anak bandel, ayah sudah melarang kamu bergaul dengan Mbah Badut itu, nanti kalau kamu dibawanya pergi minggat bagaimana? Hah!!!!, Mbah Badut itu orang nggak waras, berbahaya, paham kamu!!!", ayah Aan memuntahkan amarahnya.

"Tapi Ayah, Mbah Badut itu baik lho, suka menghibur dan mendongengi kami. Siapa lagi yang mau mendongeng selain Mbah Badut, Ayah dan Ibu juga sibuk terus bekerja, begitu pula orang tua yang lain", jawab Aan membela Mbah Badut.

"Diam kamu!!!, pokoknya jangan lagi bergaul dengan Mbah Badut!", bentak Ayah Aan.

Aan beranjak pergi ke kamarnya dengan wajah murung, mulai jumat depan ia akan kehilangan keriangan, tidak akan bisa lagi duduk dibawah pohon jambu air sambil  melihat pertunjukan Mbah Badut, mendengar dongeng-dongengnya dari balik jendela hijau kusam itu.

Jendela itu terletak di samping rumah, jendela yang sudah mulai rusak, selaras dengan kerusakan bangunan rumah kecil itu. Cat jendela berwarna hijau kusam sangat kontras dengan tembok bata yang aus, tanaman paku-pakuan tumbuh rimbun disela-sela susunan bata. Ya, itulah rumah Mbah Karyo yang dipanggil Mbah Badut oleh penduduk sekitar rumahnya. Mbah Karyo berusia enampuluh empat tahunan, perawakannya kecil, kepalanya botak di atas tetapi rambut sampingnya dibiarkan memanjang putih tanpa pernah disisir. Mbah Badut selalu berangkat pagi, pulang menjelang petang, kecuali di hari jumat. Setiap Jumat Mbah Badut tinggal di rumah, tepatnya di kamar gelapnya, libur bekerja. Tempat kerjanya adalah traffic light yang berdiri di perempatan-perempatan kota kecil itu. Ia mengamen, berkostum badut. Hanya begitulah kesehariannya, tak ada hal lain yang dilakukan. Sebab itulah ia dipanggil Mbah Badut. Beberapa kali Mbah Badut kena razia Satpol PP, dibina di kantor Dinas Sosial kota itu, karena keberadaan pengamen di jalanan dianggap  mengganggu sebagian masyarakat. Aduan masyarakat harus ditindak lanjuti pemerintah. Tetapi Mbah Badut selalu kembali mengamen, maklum ia sudah tidak kuat lagi menjadi kuli, atau tukang becak, atau penjual bak keliling. Hanya satu hal yang bisa ia lakukan, menjadi badut di jalanan. Ia juga enggan menerima bantuan siapapun, bagaimanapun Mbah Badut ingin hidup terhormat tak bergantung kepada siapapun kecuali usahanya sendiri,  meskipun hanya mengamen, menjadi badut!!!.

Mbah Karyo tidak mau bersosialisasi, dia ingin menghayati sepinya yang tiada terkira. Maklum ia tinggal sendirian dengan luka dukanya,  derita akibat terlalu banyaknya  kehilangan. Istrinya meninggal empat tahun lalu, sementara anak perempuan satu-satunya tak ada rimbanya lagi. Ya, Siti anak perempuan semata wayangnya tak pernah berkabar apalagi pulang, semenjak menjadi TKW di luar negeri. Keadaan itulah yang menyebabkan istri Mbah Karyo sakit-sakitan, hingga menemui ajalnya. Semenjak saat itu, Mbah Karyo tak pernah membuka pintu rumahnya, kecuali ketika berangkat dan pulang bekerja, ngamen. Tak seorangpun ia akrabi, kecuali lima anak-anak itu, khususnya yang perempuan. Sekedar sedikit mengobati kangennya pada Siti anak perempuanya. Percuma ia membuka pintu, karena satu-satunya yang dia tunggu sepertinya tak akan pernah datang.

Perilaku itulah yang membuat para tetangganya enggan, bahkan sedikit ada rasa takut berhadapan dengan Mbah Badut yang jarang bicara, selalu muram. Hanya Aan, Wati, Dewi, Puspa dan Andi yang berinteraksi dengannya setiap jumat sore. Kelimanya selalu datang bersamaan, sembunyi-sembunyi, mengetuk jendela dan meminta Mbah Badut mengenakan kostumnya, menari jenaka diselingi cerita-cerita dongeng. Mbah Badut selalu menuruti kemauan anak-anak itu, ia merasa gembira bersama mereka. Mbah Badut merasa seperti artis pertunjukan menemukan penggemar setia, meski panggungnya hanyalah jendela hijau pucat miliknya.

Semenjak kelima anak itu dimarahi orang tuanya, maka jumat sore berikutnya tak ada lagi fans yang mengetuk jendela untuk menyaksikan pementasannya. Mbah Badut kian sepi. Sudah beberapa hari mbah Badut tidak keluar rumah untuk bekerja, ngamen. Hanya Andi yang berani sering melewati rumah Mbah Badut, maklum Andi satu-satunya anak yang bebas dari murka orang tuanya akibat bergaul dengan Mbah Badut. Andi hanya diasuh oleh neneknya, ibunya bekerja di luar negeri setelah diceraikan ayahnya. Beberapa hari Andi mendengar suara batuk-batuk, beberapa kali ia berusaha mengetuk jendela hijau kusam itu, memanggil Mbah Badut, tetapi nihil, Mbah Badut tidak mau membuka jendelanya. Akhirnya Andi menemui keempat teman sesama fans nya Mbah Badut, menyampaikan apa yang ia ketahui tentang kondisi Mbah Badut. Mereka berlima lalu bersepakat untuk menghampiri rumah Mbah Badut sepulang sekolah. Mereka berlima mendekati jendela hijau kusam itu, tidak terdengar lagi suara batuk.

"Aduh, bagaimana ini Ndi, Mbah Badut tidak menyahut panggilan kita, tidak merespon ketukan kita" Aan mulai resah.

"Lha iya, kok suara batuknya Mbah Badut nggak kedengeran ya, apa mungkin Mbah Badut sudah sembuh dan pergi bekerja lagi yaa, ngamen?". Puspa menimpali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun