Erika baru saja melangsungkan pertunangannya dengan seorang pria satu suku berbeda marga, tapi satu keyakinan dalam agama.Â
Apakah aku harus melanjutkan perjuangan untuk mendapatkan cinta Erika? Rasanya terlalu naif bagiku untuk tidak mau menerima kenyataan ini.Â
Namun aku masih ingin bertemu dengan Erika mungkin untuk terakhir kalinya. Liburan semester untuk pertama kalinya aku bisa berjumpa dengan Erika.Â
Kami berjanji bertemu di Rumah Makan Delima di pojok kiri Jalan Surya Kencana. Pertemuan pertama kalinya sejak kami kuliah di kota yang berbeda.Â
Ini benar-benar menjadi pertemuan untuk menuntaskan segala kerinduan kami. Kami saling menatap dengan senyum bahagia.Â
Wajah lembut Erika semakin penuh dengan aura kecantikan yang membuat aku terpana.Â
Sorot mata gadis ini sangat memukau, tajam seakan menusuk hati terdalamku. Erika yang selalu kurindukan kini ada di depan mataku.Â
Erika duduk dengan tenang memandangku seakan melepaskan semua kerinduannya padaku.Â
Wajahnya yang teduh, tenang, bak telaga kedamaian. Rambutnya yang hitam sebatas bahu masih seperti dulu.Â
Matanya yang bening dan tajam. Hidungnya, bibirnya dan ketika aku menatap semuanya Erika mengangkat wajahnya. Aku tersenyum dan dia pun tersenyum.Â
"Hen bagaimana perasaan hatimu saat ini ?" Suara Erika demikian tenang.