Saat itu kita menanti angin tenggara bertiup mesra. Membelai perahu layar kehidupan layar kita.Â
Kita sejenak berhenti membenahi untuk perjalanan berikutnya.Â
Teringat pula saat itu kita sempat bercengkerama lewat sebait nada. Sempat pula aku sentuh duka-dukamu lewat sebaris kata.Â
Lalu sebuah doa datang menjelma nyata dalam hening tanpa kata.Â
Kamu waktu itu selalu ada bersandar di beranda hatiku hingga Kamu terlelap damai untuk menuai mimpi indahmu.Â
Hati Kamu ikut bersemi tatkala unggas, perdu dan semak ikut bernyanyi melantunkan sepi-sepi.Â
Teringat pula pada suatu pagi yang pucat. Seperti biasanya embun bening cepat-cepat mengucap salam hangat untuk Mentari yang bersinar rawan. Untuk margasatwa yang berkicau riang.Â
Untuk semilir angin sejuk. Untuk daun-daun, ranting, perdu, lumut dan rumput hijau. Untuk batu kerikil, karang, bukit terjal, laut, ombak. Â
Untuk langit biru, bulan, bintang, siang, senja dan untuk malam. Untuk sungai, danau, hutan, lembah, gunung, parit dan pematang sawah. Â
Untuk gelisah-gelisah, jengkel-jengkel, duka nestapa, derita dan bahagia, menangis dan tertawa.Â
Hingga pagi bertemu pagi lagi saat Kamu berlari menembus kabut tipis berlapis keraguan cinta Kamu padaku.Â