Ketika aku membaca jejak langkah-langkah kakimu di tanah becek berbatu. Apa yang Kamu rasa?Â
Atau ketika aku pandangi alunan sukmamu. Adakah separuh senyapmu menyapaku?Â
Sesaat Kamu pernah tersjerat luka pada suatu rangkaian peristiwa.Â
Sesaat akupun hanya mampu terpana memandangi rumput kering di pangkuan persada yang menatap harap-harap. Mengharap tatap-tatap mata yang berbinar. Meratap segala lelap dan melelapkan segala ratap.
Sesaat Aku dan Kamu tidak pernah lagi meramu rindu-rindu. Tak pernah lagi berbincang merdu. Tentang berlalunya angin biru atau tentang birunya angin lalu. Atau tentang nyanian perdu di Taman saat kita bertemu.Â
Lihatlah siang terentang dipanggang riang. Namun pagi tadipun berembun dengan senyum dikulum.Â
Sementara di Taman bungapun mekar dan kumbangpun liar. Lalu sebungkus cerita Kamu lempar di tengah Sinar Mentari yang nanar.Â
Pasti Kamu masih ingat waktu itu harap-harapku hampir mati. Hampir saja layu ditelan ragu.Â
Dan ketika Kamu kemasi sisa-sisa sepi pagi tadi. Ternyata Kamu masih termangu di beranda hatiku.Â
Aku tidak bisa mengelak menghidar dari hujatan panah cintamu. Terlalu.Â
(4)
Hai Kamu!
Ingat enggak ketika kita sejenak berhenti pada sebuah pelabuhan tak bertuan.Â