Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menunggu

28 Juli 2023   08:06 Diperbarui: 28 Juli 2023   09:37 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi koruptor (Foto Edi Wahyono/Detikcom). 

Ruang Sidang Parlemen siang itu tengah panas mendiskusikan UU Anti Korupsi tentang pasal hukuman mati bagi para koruptor. 

Silang pendapat di antara para anggota parlemen berbagai fraksi partai politik itu demikian panas. 

Saling bentak dan memukul meja menjadi adegan seru di ruang sidang anggota Parlemen terhormat itu. 

Ada yang berpendapat hukuman mati tidak sesuai dengan Hak Azasi Manusia yang berhak untuk hidup. 

Baca juga: Tumbal Ilmu Hitam

Namun ada yang berpendapat bahwa manusia juga berhak untuk mati. Tuhan saja menjamin bahwa manusia memiliki hak hidup dan hak mati. 

Debat panas berlangsung sengit. Sementara itu seorang anggota parlemen bernama Maxiat Alami yang akrab dipanggil Bung Max malah asyik dengan ponselnya. Rupanya Bung Max tengah asyik bermain gim. 

Anggota parlemen satu ini acuh tak acuh dengan pembahasan UU Anti Korupsi ini. Mengapa begitu? Karena dia merasa tidak ada gunanya. 

Walaupun ada UU, toh dirinya berulang kali selalu lolos dari jeratan KAK (Komite Anti Korupsi) yang bentukan Pemerintah. Bung Maxiat ini bagaikan belut licin yang sulit ditangkap. 

Jika UU Anti Korupsi itu disahkan maka para koruptor diancam hukuman mati. Persetan dengan hukuman mati untuk para koruptor, begitu Bung Maxiat membatin dalam hatinya. 

Bung Maxiat ini malah selalu mengolok-olok Pemerintah yang membuat UU hanya untuk menjerat anggota parlemen yang korupsi seperti dirinya. 

Lelaki paruh baya bertubuh tambun ini sempat menyeringai di tengah sidang paripurna parlemen siang itu ketika Pimpinan Sidang mengetuk palu tiga kali bahwa UU Anti Korupsi resmi disahkan dan mulai berlaku. 

"Max kenapa Anda tadi kok tidak memberikan sanggahan di sidang itu?" Tanya salah seorang rekan satu fraksi bernama Bandit To. 

"Percuma Bro Dit. Ada huluman mati atau tidak tetap saja manusia akan mati." 

"Ya tapi kalau hukuman mati kan matinya terpaksa." 

"Enggak juga itu namanya takdir." 

"Hai Maxiat! Apakah kamu mau takdirmu hadir?" 

Mendengan pertanyaan ini Bung Max tertawa lebar sampai terlihat giginya berbaris menunjukkan kesombongannya. 

"Bagaimana dong nasib kita?" Bandit To, rekan satu fraksi itu khawatir dengan nasibnya. 

Dia adalah rekan satu tim dalam sebuah korupsi besar sebuah proyek yang hingga saat ini belum mampu diungkap oleh KAK. 

"Tenang saja. Orang-orang yang sekarang tertangkap tangan oleh KAK tidak bisa ngomong tentang kita karena tidak ada bukti." 

Mendengar penjelasan Maxiat ini Sang Rekan terlihat agak tenang. Benar juga belum ditemukan bukti-bukti kuat tentang perbuatan korupsi mereka. 

"Kamu lihat Bro Dit. Adakah di antara rekan kita yang tertangkap KAK?" 

"Iya benar Max. Tapi apakah akan aman seterusnya? Hukuman mati lho." Rekan Bung Maxiat ini kembali ragu dengan jaminan keamanannya. Dia rupanya takut dengan hukuman mati. 

Maxiat kembali tertawa melihat rekan satu fraksinya itu ketakutan. 

"Kamu itu lucu seakan kematian sudah menjadi keputusan manusia. Tuhan lho Bro yang memutuskan kematian itu." Ujar Maxiat. 

Rekan satu fraksi itu hanya terdiam menunduk dalam sebuah renungan. Dia membenarkan bahwa kematian itu adalah hak dari Tuhan. 

Akhirnya mereka meninggalkan Gedung Parlemen yang megah penuh dengan kebanggaan yang katanya sebagai tempat terhormat para wakil rakyat, bukan sarang para koruptor sebagaimana kesan masyarakat. 

Maxiat degan penuh ceria menuju tempat parkir di mana mobil mewah merk Eropa tahun terbaru itu diparkir. Begitu juga rekannya, Bandit To menuju tempat parkir yang sama. 

Pria berperut buncit dengan dandanan resmi jas hitam, dasi, sepatu yang nilainya ratusan juta ini, berjalan penuh rasa bangga sebagai anggota parlemen. 

Membuka pintu mobil mewahnya dan menyuruh Sang Sopir menjalankan mobil bergerak meninggalkan pelataran parkir Gedung Parlemen. 

Sementara itu rekannya, Bandit To meluncur di jalan mulus Ibukota menuju rumahnya di Pondok Sorga Indah. Selama perjalanan itu Bandit To tetap merasa heran dengan sikap rekannya, Maxiat. 

Sudah hampir Maghrib Bandit To sampai di rumah, disambut istrinya dengan penuh cinta. Menuju ruang tengah dia melihat televisi sedang menyiarkan berita hangat sore itu. 

Sebuah kecelakaan maut terjadi di sebuah perlintasan kereta api. KRL reguler Ibukota menabrak sebuah sedan mewah hingga terseret puluhan meter dan dua penumpangnya tewas di tempat. 

Awalnya Bandit To tidak memperhatikan berita itu. Namun ketika penyiar tivi itu memperlihatkan foto sedan mewah yang menjadi korban tabrakan itu, Bandit To sangat kaget. 

Sedan mewah buatan terbaru Eropa itu ternyata milik rekannya, Bung Maxiat. 

"Benar ternyata apa katanya bahwa takdir kematian itu adalah milik Tuhan. Kita hanya menunggu." Gumam Bandit To sambil matanya nanar menatap layar televisi itu. 

Salam literasi @hensa17

Keterangan : Penulis adalah seorang Pensiunan sejak tahun 2011. Saat ini beraktivitas sebagai kontributor artikel di Kompasiana sejak tahun 2012 terutama pada rubrik olahraga sepak bola dan bulutangkis. 

Cerpen ini untuk meramaikan ajang Pulpen Kompasiana dalam kegiatan regulernya. Nama-nama dan tempat dalam cerpen ini hanya fiktif belaka tidak ada hubungannya dengan tempat dan siapapun. Semoga bermanfaat.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun