"Iya benar Max. Tapi apakah akan aman seterusnya? Hukuman mati lho." Rekan Bung Maxiat ini kembali ragu dengan jaminan keamanannya. Dia rupanya takut dengan hukuman mati.Â
Maxiat kembali tertawa melihat rekan satu fraksinya itu ketakutan.Â
"Kamu itu lucu seakan kematian sudah menjadi keputusan manusia. Tuhan lho Bro yang memutuskan kematian itu." Ujar Maxiat.Â
Rekan satu fraksi itu hanya terdiam menunduk dalam sebuah renungan. Dia membenarkan bahwa kematian itu adalah hak dari Tuhan.Â
Akhirnya mereka meninggalkan Gedung Parlemen yang megah penuh dengan kebanggaan yang katanya sebagai tempat terhormat para wakil rakyat, bukan sarang para koruptor sebagaimana kesan masyarakat.Â
Maxiat degan penuh ceria menuju tempat parkir di mana mobil mewah merk Eropa tahun terbaru itu diparkir. Begitu juga rekannya, Bandit To menuju tempat parkir yang sama.Â
Pria berperut buncit dengan dandanan resmi jas hitam, dasi, sepatu yang nilainya ratusan juta ini, berjalan penuh rasa bangga sebagai anggota parlemen.Â
Membuka pintu mobil mewahnya dan menyuruh Sang Sopir menjalankan mobil bergerak meninggalkan pelataran parkir Gedung Parlemen.Â
Sementara itu rekannya, Bandit To meluncur di jalan mulus Ibukota menuju rumahnya di Pondok Sorga Indah. Selama perjalanan itu Bandit To tetap merasa heran dengan sikap rekannya, Maxiat.Â
Sudah hampir Maghrib Bandit To sampai di rumah, disambut istrinya dengan penuh cinta. Menuju ruang tengah dia melihat televisi sedang menyiarkan berita hangat sore itu.Â
Sebuah kecelakaan maut terjadi di sebuah perlintasan kereta api. KRL reguler Ibukota menabrak sebuah sedan mewah hingga terseret puluhan meter dan dua penumpangnya tewas di tempat.Â