Bahkan lahan yang dulu pernah digunakan untuk perkebunan gula, justru mengalami peningkatan secara bertahap. Antara tahun 1880-1890 jumlah area yang digunakan untuk tebu hanya sekitar 3 %.
Namun, pada tahun-tahun berikutnya jumlah area itu tersebut selalu mengalami kenaikan luas secara konsisten seiring dengan dukungan teknologi.
Kenaikan jumlah area tersebut mencapai puncaknya pada periode tahun 1929-1931 dengan 6% area gula dari seluruh lahan dengan peairan sistem irigasi.
Dengan areal industri gula saat itu yang mencapai 200 ribu ha lahan tebu dan tingkat produksi gula sebanyak sekitar 15 ton per ha. Suatu pencapaian yang sangat besar.
Pencapaian ini membuat Indonesia menjadi negara pengekspor gula pasir terbesar kedua di dunia setelah Kuba.
Prestasi ini sangat mengesankan jauh meninggalkan negara-negara produsen gula lainnya yang menjadi pesaing saat itu seperti Australia, Brazil, China, dan Filipina.
Padahal saat itu pengelolaan industri gula hanya menggunakan teknologi yang boleh dibilang masih sangat sederhana.
Demikian juga saat itu, dukungan riset dan ilmu pengetahuan sangat minim yang kondisinya tidak semaju dan secanggih seperti saat sekarang.
Namun ternyata Indonesia mampu melakukannya untuk memproduksi gula pasir jauh di atas kebutuhan dalam negeri saat itu.
Dengan berbagai sarana dan prasarana yang jauh lebih lengkap seperti sekarang, maka seharusnya Indonesia mampu mengulang kembali masa kejayaan tersebut. Bisnis gula pasir seharusnya semakin bergairah dengan prospek yang baik mengingat kebutuhan pokok ini semakin meningkat.Â
Namun faktanya tidak mudah untuk mengatakan hal tersebut karena saat ini situasi dan kondisi sudah jauh berbeda dengan pada saat zaman kolonial dulu. Banyak sekali variabel pembatas yang menjadi kendala pada setiap tahapan produksi gula pasir sejak dari kebun hingga ke hilir.Â