"Bagiku sudah tidak lagi dihubungi Kepolisian mungkin keterangan sudah cukup. Tapi aku masih ada rasa khawatir dengan ancaman mantan penghubungku di Kampus." Kata Mikayla mulai serius.
Aku jadi teringat omongan Arga yang menurutnya harus berhati-hati dengan orang yang selama ini menjadi penghubung Mikayla di Kampus.
"Dia namanya Omen, anak mahasiswa Kimia juga. Dua hari yang lalu dia mengancamku jika berani membuka rahasianya." Jelas Kayla.
"Kamu harus berfikir tenang Kayla. Walaupun ancaman itu juga tetap harus diwaspadai."
"Iya Mas. Tetapi ada yang membuat aku lebih khawatir. Omen sekarang sudah tahu kalau Mas Hendar dekat denganku. Aku taku terjadi apa-apa denganmu." Mikayla memandangku dengan wajah penuh dengan kecemasan. Sorot matanya demikian sendu seperti mau menangis. Ya Tuhan gadis rupawan ini begitu mempesona kendati mimik wajahnya sedang dalam rasa khawatir. Â
"Kayla jangan khawatir. Insha Allah, aku bisa menjaga diri." Kataku tegas sambil aku memegang kedua tangannya. Mikayla masih memandangku dengan perasaan cemas.Â
Sungguh aku merasakan cintanya. Dari pandangan matanya memancarkan cinta itu. Aku tidak tahu apakah dia juga merasakan cintaku yang belum berani aku utarakan? Entahlah.
Sejak pertemuan terakhir di Cafe Jalan Riau itu, aku sudah seminggu ini tidak bertemu Mikayla. Setiap panggilan melalui ponselnya selalu saja tidak aktif.
Sehari-dua hari aku masih menganggap bahwa Mikayla sedang sibuk menyusun skripsinya. Namun setelah seminggu ini aku merasakan kecemasan luar biasa.
Mikayla seperti hilang tiada berita sama sekali darinya. Tiffany, sahabat dekatnya  yang sempat aku hubungi mengatakan hal yang sama. Kemana kamu Mikayla?
Sore itu baru saja aku menyelesaikan tugas praktek bedah bersama dokter Ramli. Hari yang melelahkan rasanya ingin segera saja tiba di rumah dan merebahkan diri.