"Iya Ma, saya juga sudah tidak sabar ingin bertemu segera," kataku.Â
Aku merasakan ada kegundahan dalam tutur kataku itu. Rasa gundah, gelisah, khawatir dan rasa takut kehilangan.Â
Ya Allah kenapa jatungku berdetak semakin cepat saat sebentar lagi akan bertemu Mutiara. Aku tidak mau membayangkan kondisi Mutiara saat ini. Mendengar informasi dari Om Franky tempo hari, Mutiara memang sudah sangat parah.
Aku sekarang sudah ada di depan pintu Ruangan tempat Mutiara dirawat. Mama Maya membukakan pintu dan Om Franky masuk diikuti olehku.
"Tiara coba tebak siapa yang datang ini!" Suara Mamanya.Â
Mutiara melihat kedatanganku dengan wajah yang ceria. Ya Allah walaupun wajah cantiknya kelihatan pucat dengan kedua pipi yang sudah cekung digerogoti virus HIV namun senyum itu adalah senyum kerinduannya kepadaku. Aku hanya bisa memandangnya dengan penuh haru.
"Mas Herman!" Suara panggilan Mutiara setengah berteriak.Â
Aku menghampiri dan memegang lengannya. Kupandangi wajah cantiknya yang selama ini aku rindukan. Mutiarapun memandangku dengan kedua matanya yang indah itu. Bibirnya berkali kali memanggil namaku pelan hampir berbisik.Â
Wajahnya memang kelihatan sangat lelah namun saat dia memandangku kelihatan sorot mata yang hidup dan senyum manis penuh dengan harapan. Kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan kelihatan kurus karena bobot badan yang terus menyusut.Â
Mamanya hanya bisa terisak memandang adegan haru di depan matanya sedangkan Om Franky terdiam membisu dengan wajah penuh kesedihan.
"Mas, aku kangen sekali," suara Mutiara pelan dan air matanya mulai menetes di kedua pipinya yang sekarang sudah cekung itu. Aku mengusap tetesan air mata itu dengan lembut.