Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malam Terakhir

15 Desember 2020   15:34 Diperbarui: 15 Desember 2020   16:08 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Pixabay

Sudah dua kali lelaki itu datang dan mem"booking"ku. Waktu pertama kali datang, dia hanya bermain cinta di kamar ini namun ketika datang yang kedua kali, dia mengajakku ke sebuah hotel.

Di sana semalam suntuk kami habiskan pelampiasan nafsu kemaksiatan itu sampai tak bersisa.  Ada kesan yang mendalam ketika lelaki itu pertama kali 'memakaiku'. Saat itu di dalam kamar aku sempat bertanya padanya.

"Boleh aku tahu kenapa Om memilihku untuk malam ini?" Tanyaku. Aku memanggilnya dengan sebutan Om karena memang usianya hampir seusia pamanku.

"Kamu cantik dan kelihatan lembut," katanya sambil tersenyum.

Kesan pertama saja aku suka dengan lelaki ini karena sopan dan santun serta tampilan fisiknya memang kekar dan ganteng pula.

"Bukan karena aku sexy ya," tanyaku menggoda.

Lelaki itu kembali tersenyum dan aku sangat menikmati senyum itu karena bukan senyum nakal seorang lelaki hidung belang.

"Tentu saja aku memilih juga karena kamu sexy yang akan membuat gairah lelaki manapun," katanya kalem.

Jujur saja belum pernah aku mendapat 'customer' yang 'cool' seperti lelaki ini. Umumnya mereka yang memilihku saat berada di kamar seperti ini selalu bersikap kasar dan terburu-buru seakan nafsu binatangnya sudah naik ke ubun-ubun.

Bahkan dengan tidak sabarnya mereka dengan kasar melucuti pakaianku yang sudah minim ini. Menghadapi lelaki hidung belang seperti itu, aku hanya bersikap profesional saja sebagai wanita penghibur.

"Hai kamu kok jadi melamun. Apakah ada yang salah dengan perkataanku?" Suara lelaki itu mengagetkanku dari lamunan sepintas tadi.

"Oh tidak Om!"

"Sebenarnya aku keberatan dipanggil dengan sebutan Om. Usiamu selisih denganku kira-kira sepuluh tahunan ya?"

"Usiaku sekarang 27 tahun," kataku polos.

"Ya kamu masih muda. Seharusnya kamu bukan berada di sini tapi berada di Hotel berbintang. Jangan kalah dengan Selebriti-selebriti yang suka nyambi itu," kata lelaki itu lagi.

"Ah Om ini bisa saja masa aku disamakan dengan selebriti nyambi yang penghasilannya jutaan itu. Lho aku ini cuma satu-dua juta saja sudah setengah mati," kataku sambil tersenyum.

Lelaki itu kembali tersenyum sambil menghampiriku, memegang tanganku dan mulai menciumku. Sangat lembut menyentuh setiap jengkal tubuhku. Sangat lembut kurasakan.

Aku belum pernah merasakan belaian seorang pelanggan seperti yang dilakukan lelaki ini. Benar-benar aku menikmatinya. Aku membalas belaiannya dengan cumbuan seakan seperti seorang istri kepada suaminya.

Alam surga itu sungguh-sungguh ada dalam dirinya hingga puncak gairahku meledak seperti sebuah letusan gunung berapi mengeluarkan laharnya dari tepi kawahnya.

Aku merasakan kepuasan tiada tara dan rasa bahagia yang belum pernah aku alami selama ini. Aku masih terbaring di sisi lelaki itu.

Aku menatapnya. Lelaki itu masih sedang termangu melihat ke langit-langit kamar. Tiba-tiba dia bergumam.

"Aku tidak percaya. Sungguh aku tidak percaya," gumamnya sambil matanya tetap menatap langit-langit kamar itu.

"Tidak percaya bagaimana Om!?"

"Ternyata aku ini masih laki-laki," katanya lagi bergumam.

"Maksudnya?"

Kemudian aku lihat lelaki itu bangun dan duduk memeluk kedua lututnya. Akupun segera bangun sambil mengenakan pakaian sekedarnya untuk menutupi tubuh polosku. Lelaki itu menatapku.

"Kau tahu siapa aku sebenarnya?" Aku hanya terdiam kemudian diapun menjawab pertanyaannya sendiri.

"Aku adalah seorang Gay. Mempunyai pacar laki-laki tapi aku mempunyai seorang istri. Sudah lama aku ingin keluar dari jerat dunia homo ini," kata lelaki itu dan aku masih mendengarkan dengan seksama.

Aku lihat tatap matanya yang penuh dengan rasa sesal yang dalam karena terjerumus dalam dunia homo. Aku sendiri pernah hampir terjerumus ke dalam dunia itu ketika memiliki seorang sahabat seprofesi namun rupanya dia mempunyai kebiasaan lesbian juga.

Fenomena dunia hitam yang menjeratku selama ini selalu mengandung resiko ke arah itu. Untung saja aku selalu berhasil menghindar darinya setiap dia mengajakku bercinta. Kini di depanku ada seorang lelaki yang juga ingin keluar dari jeratan jijik dunia homo.

"Iya aku sudah lama ingin sembuh dan kembali kepada istriku. Aku hanya ingin tahu apakah aku ini masih seorang laki-laki saat mengajakmu bermain cinta," suara lelaki itu kembali mengutarakan kegundahannya.

"Om adalah seorang laki-laki perkasa," kataku polos. Aku sudah mengatakan yang sebenarnya karena aku bisa merasakan sendiri bagaimana dia menggauliku dengan keperkasaannya.

"Ah benarkah?" Tanyanya sambil menatapku tak percaya.

"Benar Om," kataku tersenyum penuh simpati.

Entah kenapa aku begitu menaruh hormat kepadanya. Mungkin karena dia sangat lembut memperlakukan wanita sepertiku ini.  

Bahkan aku pernah menolak pemberian uang lebih hanya karena rasa hormatku itu. Dia selalu memberiku uang lebih walaupun sebenarnya bayaranku sudah dia serahkan kepada 'manajerku'.

Diapun selalu mengatakan kalau aku pantas dibayar seperti para selebriti yang suka nyambi itu. Aku memang terkejut atas pengakuan lelaki itu sebagai gay namun lebih terkejut lagi ketika dia mem'booking'ku hanya sekedar ingin membuktikan bahwa dia adalah lelaki sejati. Seorang gay yang ingin kembali ke jalan yang benar yaitu kembali kedalam pelukan istrinya.

Beberapa hari ini aku dan teman-teman mulai menerima sosialisasi dari Panti Rehabilitasi sehubungan dengan dilakukannya relokasi penghuni kawasan ini.

Selain berbagai pelatihan juga diberikan pemahaman tentang kesehatan dan bahaya HIV. Bahkan tadi pagi saat aku mengunjungi Panti tersebut ternyata sedang ada pemeriksaan kesehatan oleh Tim Medis.

Ada baiknya juga karena sudah lama aku tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan terutama untuk test HIV. Aku memang selama ini tidak peduli dengan pemeriksaan kesehatan itu yang penting aku dapat melakukan pekerjaan dan hasilnya untuk keluargaku di Kampung.

Test HIV beberapa hari kemudian sudah diketahui hasilnya. Aku hanya berusaha pasrah ketika salah seorang yang positif adalah aku. Ada rasa takut yang mulai menerkam kehidupanku.

Tiba-tiba saja aku merasa galau luar biasa walaupun menurut dokter gejala ini masih bisa ditangani dengan pengobatan yang terjadwal.

Malam ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Besok tempat ini mau diratakan oleh Pemda dan semua penghuni di sini segera dikirim ke Panti Rehabilitasi.

Malam semakin mencekam lalu mengapa tiba-tiba saja aku merindukan lelaki itu. Sudah dua pelanggan yang aku layani malam ini namun masih juga lelaki itu belum muncul juga. Tiba-tiba aku seperti mau berteriak ketika dia akhirnya datang juga menemuiku. Tanganku dipegang lalu memeluk dan mengajakku menuju kamar.

"Malam ini aku sudah book tapi kita di sini saja tidak perlu ke Hotel. Di kamar ini pun kita hanya ngobrol saja," katanya. Aku tersenyum mengangguk dan memegang tangan lelaki itu.

"Iya Om enggak apa-apa. Aku sudah dari tadi menunggumu. Malam ini malam terakhir itulah sebabnya aku takut tidak lagi bertemu denganmu," kataku.

"Aku tahu besok tempat ini sudah rata dengan tanah. Memang aku sengaja ingin menemui kamu. Mungkin pertemuan terakhir karena siapa tahu kita tidak akan bertemu lagi," kata lelaki itu.

Ada rasa haru dalam perkataannya. Aku merasakan rasa haru itu seolah dia tidak mau berpisah denganku.

"Aku ingin memberi kabar gembira."

"Oh ya Om kabar gembira apa?"

"Sekarang aku sudah kembali kepada istriku. Sudah menjadi laki-laki sejati. Beberapa kali aku sudah berhasil memberi kepuasan kepada istriku."

"Aku turut gembira Om."

"Ya itu semua berkat kamu!"

"Ah tidak juga Om. Aku kan hanya seorang....." ketika aku mau menyebutkan profesiku, lelaki itu menutup bibirku dengan telunjuknya. 

"Jangan katakan itu. Apa yang kau lakukan bukan kemauanmu. Mulai besok kamu sudah ada di Panti Rehab kan?"

"Iya besok aku sudah ada di sana memulai hidup baru."

"Harapan baru juga."

"Mudah-mudahan."

"Boleh aku tahu dimana Panti yang akan menampung kamu?"

"Sebaiknya Om tidak perlu tahu Panti itu dan alamatnya."

"Kenapa begitu?"

"Karena sebaiknya Om menutup saja cerita ini dan mulai melupakan apa yang pernah terjadi diantara kita." Kataku penuh rasa sedih, aneh sekali.

Mengucapkan kata-kata tadi aku sebenarnya ingin menangis namun sekuat tenaga aku tahan agar tidak meneteskan air mata. Malam ini aku harus mulai melupakan lelaki ini. Kulihat dia masih terdiam lalu berdiri mendekat kepadaku.

"Bolehkah aku memelukmu untuk yang terakhir kali?" katanya sambil merentangkan kedua tangannya.

Aku sekejap memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Sudah berusaha untuk menahan tangis namun tak mampu. Akhirnya akupun menyerah dalam pelukannya sambil terisak.

Dia memelukku erat sekali seolah tidak mau melepaskan diriku. Sedangkan aku masih menangis tersedu. Aku sedih bukan karena harus berpisah dengan lelaki ini tapi aku sedih karena membayangkan nasib istrinya yang harus menerima HIV dariku. Tuhan, ampunilah dosaku. 

@hensa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun