Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dinding Gereja Itu Terlalu Terjal

12 Desember 2020   15:24 Diperbarui: 21 Desember 2021   09:03 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu memang selalu menjadi istimewa di hatiku. Terutama setiap Desember tiba. Kini kita sudah kembali bersua dengan Desember ketika semua bunga mekar mewangi di Taman Gereja Katedral Santo Petrus itu.

Kamu setiap Minggu pagi pasti sudah di sana menungguku hanya ingin sekedar bertemu sesaat. 

"Selamat pagi Kayla!" Sapamu. Aku membalas dengan senyum yang aku ukir semanis dan sesayang seperti cintaku. 

Lalu Kamu biasanya menyematkan setangkai bunga melati di telinga kananku. 

"Bagaimana misamu pagi ini?" Tanyamu. 

"Banyak pesan luhur bagi kedamaian Bumi ini." 

"Syukurlah semoga juga bisa mendamaikan hatiku." Katamu. 

Aku tertunduk mendengar ucapanmu karena pasti Kamu merasa tidak mendapatkan kedamaian ketika cinta kita tidak dapat restu dari orang tuaku. 

Dinding Gereja itu terlalu terjal jika harus aku daki. Bahkan mungkin jika saja kita bisa bisa mendaki bersama namun tetap saja, Kamu tidak mungkin bisa menggapai cinta itu. 

"Hen. Maafkan aku." Aku masih tertunduk dan Kamu mencoba memberikan kekuatan. Kamu menyentuh kedua pipiku penuh kasih. Dibiarkannya mataku memandang wajahmu. 

Aku melihat ketulusan cintamu dari tatapan tulus yang jernih. Aku melihat di wajahmu, ketegasan keyakinanmu dan kekuatan taatmu. 

Kamu adalah lelaki idealku yang selama ini aku impikan. Tapi, Dinding Gereja itu terlalu terjal untuk aku daki. 

Pernah Kamu membawaku ke Pesantren milik Ayahmu. Pertama berjumpa Ayahmu, aku kagum karena Beliau adalah Pemuka agama yang sangat dihormati dan disegani karena ilmu agamanya yang tinggi. 

Kamu selalu mendahulukan hubungan kemanusiaan yang penuh cinta walaupun beda keyakinan. 

"Itu adalah ajaran Ayah." Katamu menjelaskan kepadaku. 

Bukan sekedar rangkaian kata indah faktanya Kamu sendiri sudah menerapkannya ketika Kamu mencintaiku sepenuh hatimu. Tapi kenapa harus ada dinding Gereja yang terlalu terjal untuk aku daki. 

Setiap Desember tiba, aku selalu ingat Kamu. Di Taman Gereja Katedral Santo Petrus ini cinta kita selalu bersemi bersama mekarnya bunga-bunga di taman ini. 

Kita duduk di kursi besi berukir dengan warna kelabu ini. Kamu selalu memberiku semangat agar semua masalah kita serahkan kepada Tuhan.

"Kayla, bagaimanapun kamu harus yakin tidak ada satupun perkara yang tanpa campur tanganNya." Demikian katamu memberiku rasa percaya diri. 

"Iya benar Hen!" Kataku sambil kutatap wajah damaimu. 

Aku selalu merasa nyaman berada di dekatmu. Entah kenapa. Damai itu ternyata setiap ucapanmu, setiap senyummu, setiap tutur ramahmu, setiap tatapan lembutmu. Itulah kedamaian yang aku dapatkan. 

Mungkin itu wajar karena kita sudah saling mengenal sejak kita SMP dulu. Kebersamaan kita berlanjut saat-saat indah masa SMA. 

Bahkan ketika ketika melanjutkan kuliah di Kota yang berbeda, cinta kita tidak bisa dipisahkan. Tetapi kenapa kini aku harus mendaki dinding Gereja yang begitu terjal yang aku tidak mampu melakukannya. 

"Hidup ini terlalu singkat jika hanya digunakan untuk memikirkan hal-hal yang tidak membawa kita kepada rasa dekat bersamaNya." Ini juga adalah perkataanmu yang selalu aku ingat jika setiap Desember hadir. 

Kamu itu seperti sebuah sosok yang sangat penting dalam setiap relung hatiku. Kamu sudah memenjarakan setiap perasaanku. Kamu sudah mendera pikiranku dengan ketulusan cintamu. Aku tersandera cintamu. 

Kamu itu sebagian dari hidupku sebagai pelengkap bagi kebahagiaanku. Tanpa dirimu tidak ada rasa bahagia dalam hati ini. 

Benarkah Tuhan sudah menghadirkan dirimu untukku? Tetapi kenapa harus ada dinding terjal itu? 

Andaipun aku mampu mendaki dinding itu, apakah aku yakin di seberang dinding itu ada Kamu menungguku? 

Kini Desember telah tiba. Aku masih duduk di Taman itu. Aku baru tersadar ketika suara lembut menyadarkanku dari lamunan panjang itu. 

"Oma kenapa menangis?" Suara sapaan cucuku yang cantik.  

"Oma tidak menangis sayang." Kataku sambil menghampiri dan memeluk cucu kesayangaku. 

"Ayo kita pulang Oma. Di sana Mama Papa sudah menunggu." 

Aku mengangguk dan bergegas bersama cucu tercinta meninggalkan Taman penuh kenangan itu. Empat puluh lima tahun sudah berlalu. Begitu cepatnya. 

@hensa 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun