Aku melihat ketulusan cintamu dari tatapan tulus yang jernih. Aku melihat di wajahmu, ketegasan keyakinanmu dan kekuatan taatmu.Â
Kamu adalah lelaki idealku yang selama ini aku impikan. Tapi, Dinding Gereja itu terlalu terjal untuk aku daki.Â
Pernah Kamu membawaku ke Pesantren milik Ayahmu. Pertama berjumpa Ayahmu, aku kagum karena Beliau adalah Pemuka agama yang sangat dihormati dan disegani karena ilmu agamanya yang tinggi.Â
Kamu selalu mendahulukan hubungan kemanusiaan yang penuh cinta walaupun beda keyakinan.Â
"Itu adalah ajaran Ayah." Katamu menjelaskan kepadaku.Â
Bukan sekedar rangkaian kata indah faktanya Kamu sendiri sudah menerapkannya ketika Kamu mencintaiku sepenuh hatimu. Tapi kenapa harus ada dinding Gereja yang terlalu terjal untuk aku daki.Â
Setiap Desember tiba, aku selalu ingat Kamu. Di Taman Gereja Katedral Santo Petrus ini cinta kita selalu bersemi bersama mekarnya bunga-bunga di taman ini.Â
Kita duduk di kursi besi berukir dengan warna kelabu ini. Kamu selalu memberiku semangat agar semua masalah kita serahkan kepada Tuhan.
"Kayla, bagaimanapun kamu harus yakin tidak ada satupun perkara yang tanpa campur tanganNya." Demikian katamu memberiku rasa percaya diri.Â
"Iya benar Hen!" Kataku sambil kutatap wajah damaimu.Â
Aku selalu merasa nyaman berada di dekatmu. Entah kenapa. Damai itu ternyata setiap ucapanmu, setiap senyummu, setiap tutur ramahmu, setiap tatapan lembutmu. Itulah kedamaian yang aku dapatkan.Â