Mungkin itu wajar karena kita sudah saling mengenal sejak kita SMP dulu. Kebersamaan kita berlanjut saat-saat indah masa SMA.Â
Bahkan ketika ketika melanjutkan kuliah di Kota yang berbeda, cinta kita tidak bisa dipisahkan. Tetapi kenapa kini aku harus mendaki dinding Gereja yang begitu terjal yang aku tidak mampu melakukannya.Â
"Hidup ini terlalu singkat jika hanya digunakan untuk memikirkan hal-hal yang tidak membawa kita kepada rasa dekat bersamaNya." Ini juga adalah perkataanmu yang selalu aku ingat jika setiap Desember hadir.Â
Kamu itu seperti sebuah sosok yang sangat penting dalam setiap relung hatiku. Kamu sudah memenjarakan setiap perasaanku. Kamu sudah mendera pikiranku dengan ketulusan cintamu. Aku tersandera cintamu.Â
Kamu itu sebagian dari hidupku sebagai pelengkap bagi kebahagiaanku. Tanpa dirimu tidak ada rasa bahagia dalam hati ini.Â
Benarkah Tuhan sudah menghadirkan dirimu untukku? Tetapi kenapa harus ada dinding terjal itu?Â
Andaipun aku mampu mendaki dinding itu, apakah aku yakin di seberang dinding itu ada Kamu menungguku?Â
Kini Desember telah tiba. Aku masih duduk di Taman itu. Aku baru tersadar ketika suara lembut menyadarkanku dari lamunan panjang itu.Â
"Oma kenapa menangis?" Suara sapaan cucuku yang cantik. Â
"Oma tidak menangis sayang." Kataku sambil menghampiri dan memeluk cucu kesayangaku.Â
"Ayo kita pulang Oma. Di sana Mama Papa sudah menunggu."Â