Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fiksi Teenlit: Cerita Pendek Bunda

16 November 2020   14:30 Diperbarui: 16 November 2020   18:24 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Fimela.com 

Anita Putri adalah anak gadisku satu satunya yang baru berusia 18 tahun. Saat ini masih duduk di kelas 12 di sebuah SMA terkenal di Kotaku yang ada di jalan Blitung. 

Pada saat ini adalah masa-masa yang penuh dengan keindahan bagi Putri.  Masa remaja adalah masa yang paling indah, begitu kata sebuah lagu Koes Plus. Sebagai seorang Bunda, aku begitu bangga dengan anak gadisku ini. 

Bagaimana tidak, pada usia yang sangat belia ini, Putri sudah mampu mandiri. Bayangkan anak tunggal namun tidak manja. Fasilitas yang dapat digunakan Putri sebagai remaja masa kini sudah cukup lengkap. 

Ada sebuah mobil sport merk Jepang yang bisa Putri kendarai sendiri atau siap juga seorang driver yang sewaktu waktu bisa digunakan jasanya.  Kartu kredit sebuah Bank Nasional yang bisa digunakan untuk keperluan apa saja, shopping sepuasnya, kuliner sekenyangnya, memanjakan diri dan merawat kecantikan ke Beauty Center. 

Hampir semua kebutuhan seorang remaja sudah ada semua.  Ternyata semua fasilitas itu tidak sepenuhnya digunakan oleh Putri. Anak gadisku ini lebih memilih gaya hidup biasa saja seperti kebanyakan remaja kelas menengah kebawah. 

Putri pergi dan pulang sekolah hanya menggunakan motor matic Jepang. Kadang-kadang saja Putri minta diantar sopir atau kadang-kadang juga mengendarai mobil sendiri untuk keperluan tertentu saja.

Berbeda denganku dulu. Sewaktu seusia Putri, aku sebagai seorang gadis yang hidup dari kekayaan orang tua begitu menikmati fasilitas yang ada. Salahnya juga orang tuaku terlalu memanjakanku sehingga apa saja keinginanku selalu dikabulkan mereka. 

Wajar jika saat itu aku tumbuh bukan sebagai seorang remaja putri yang mandiri. Beruntunglah saat itu aku bertemu seorang pria yang bisa membimbingku dengan sabar menjadi mandiri, pria itu adalah yang sekarang menjadi suamiku, ayahnya Putri. 

Aku melalui masa masa kuliahku dengan prestasi. Jika saat ini posisi profesi kerjaku sangat baik itu karena prestasiku di bangku kuliah yang cemerlang. Melihat keseharian Putri,terus terang aku sudah  banyak belajar darinya, anak gadisku satu-satunya itu. 

Putri begitu matang dan dewasa dalam usia yang muda memiliki kecantikan jiwa yang luar biasa. Berbicara kecantikan Putri secara fisik, jangan tanya karena ibunya juga dulunya cantik he he he. Bahkan sekarangpun masih tetap cantik tapi itu kata suamiku.

Beberapa hari ini aku memperhatikan anak gadis Semata Wayangku kelihatan murung. Tidak seperti biasanya keceriaannya hilang tanpa bekas.

"Bunda! Putri berangkat ke sekolah dulu," suara Putri sambil menyalakan Motor Bebek maticnya lalu terdengar suara motor meninggalkan halaman rumah. Saat pagi itu aku sarapan bersama suami, ternyata pagi itu Putri tidak sarapan untuk yang kesekian kalinya. Tidak biasanya hal itu terjadi. Ini pasti ada apa-apa.

"Mas ada apa dengan Putri akhir-akhir ini begitu pendiam. Sudah tiga hari ini tidak pernah sarapan pagi," kataku kepada Mas Hensa, Suamiku.

"Tidak ada apa-apa mungkin sibuk saja mempersiapkan Ujian Nasional bulan depan," kata Suamiku tenang tanpa khawatir.

Aku sebenarnya bisa merasakan perubahan yang terjadi pada Putri. Mungkin karena seorang Ibu maka perasaan peka itu lebih kuat dibandingkan seorang Ayah. Entahlah.

Maka seusai sarapan pagi itu, aku dan suamiku bergegas berangkat ke Kantor yaitu sebuah Pusat Penelitian Tanaman Perkebunan. Kebetulan kami memang berkantor sama jadi berangkat dan pulang bisa bersama sama pula. 

Hari itu selama bekerja pikiranku  selalu tertuju kepada Putri. Ada apa dengan anak gadisku. Siang itu aku mencoba menghubungi Putri melalui ponselnya.

"Ya Bunda!" Suara Putri diseberang sana.

"Sayang. Tadi pagi tidak sarapan, apakah sekarang sudah makan siang?" Tanyaku.

"Sudah Bunda tadi makan siang di Kantin. Baru saja juga Ayah telpon menanyakan makan siang, kok Bunda dan Ayah kompak," suara Putri tertawa ceria tampak senang. Mendengar tawa Putri ada rasa lega juga dalam hati ini.

Aku tersenyum rupanya Putri baru juga menerima telpon Ayahnya. Namun tetap saja perasaan khawatir ini terus saja memenuhi relung hatiku. 

Bagaimana tidak Putri anak gadisku satu-satunya yang sedang beranjak dewasa, cantik, cerdas dan biasanya ceria tiba-tiba saja harus murung. 

Aku khawatir dengan kemurungannya. Aku mencoba mendekati dengan hati-hati untuk mengorek  apa yang dirasakannya mengapa akhir akhir ini ia kelihatan murung.

"Putri bolehkan Bunda bicara denganmu," suatu malam di Ruang Keluarga itu seusai makan malam. Sementara suamiku masih asyik membuka buka koran hari itu. 

"Ada apa Bunda tentu saja boleh," kata Putri. Aku melihat wajah cantiknya memang sedang murung.

"Akhir-akhir ini Bunda melihat Putri selalu murung tidak seperti biasanya. Bolehkah Bunda tahu dan bolehkah Bunda mendengar apa sebenarnya yang terjadi denganmu sayang ?" Kataku agak ragu takut menyinggung perasaannya yang mungkin saat ini sedang peka. 

Wah benar saja aku melihat Putri terdiam wajahnya semakin murung. Aku benar benar khawatir. 

Aku melihat suamiku melirik dari balik koran yang dibacanya mengamati wajah anak gadisnya itu. 

Lama sekali Putri tidak menjawab pertanyaanku. Ya Tuhan Putri malah mulai terisak. Wajahnya penuh dengan air mata. Putri menangis.

"Sayang kenapa menangis ?" Aku mendekat dan memeluknya. 

Anak gadisku memang sudah dewasa. Tubuhnya yang bagus sudah kelihatan berisi seperti seorang wanita dewasa. Aku memeluknya erat sekali.

"Bunda. Dia meninggalkanku begitu saja. Dia yang selalu menjadi harapanku kini pergi dariku dan mencampakkanku seperti sampah tak berguna." 

Putri mulai mencurahkan isi hatinya. Sengaja aku biarkan Putri bicara sepuasnya. Semua ganjalan di hatinya dilepaskan semuanya.

"Bunda aku seakan tak percaya mengapa dia berhianat kepadaku. Aku tidak percaya dia berpaling dariku," kembali suara Putri dengan isak tangisnya. 

Aku memeluknya semakin erat sambil aku menciumnya penuh kasih sayang. Putri masih terisak dalam pelukanku.

"Putri sayang. Bunda jadi ingat kata kata bijak bahwa perempuan baik-baik hanya diperuntukkan bagi lelaki baik baik. Bunda tahu Putri adalah perempuan baik-baik maka Putri harus mendapatkan lelaki baik baik pula. Janganlah kita buang-buang waktu hanya untuk memikirkan seorang lelaki penghianat. Tentu saja penghianat itu bukan lelaki baik-baik. Rupanya Tuhan Maha Tahu dia Si Penghianat itu tidak setara denganmu maka Tuhan memisahkannya darimu. Berhentilah menangis sayang," kataku sambil tetap memeluknya semakin erat. 

Aku mencium keningnya. Tiba-tiba suamiku berkata:

"Putri lihatlah. Ayah ini adalah lelaki baik-baik maka Ayah dapat jodoh Bunda dan tentu saja Bunda adalah perempuan baik-baik. Bunda layak mendapatkan Ayah dan Ayahpun sangat pantas untuk Bunda, " kata suamiku.

Mendengar perkataaan ayahnya kulihat putri mulai tersenyum diantara derai air mata yang mengalir dipipinya. Alhamdulillah anak gadisku mulai kembali tersenyum. Lalu aku merasakan Putri memelukku. Erat sekali seolah tidak mau lepas untuk selamanya.

"Bunda tolong aku bantu untuk dapatkan lelaki baik baik seperti Ayah," katanya perlahan.

"Ya sayang. Mulai sekarang jangan buang-buang waktumu untuk mengingat lagi Si Penghianat itu ya. Dia tidak setara denganmu," kataku sambil mencium anak gadisku penuh dengan kasih sayang.

"Iya Bunda!" Lirih Putri masih dalam pelukanku. 

@hensa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun