Bagaimana tidak Putri anak gadisku satu-satunya yang sedang beranjak dewasa, cantik, cerdas dan biasanya ceria tiba-tiba saja harus murung.Â
Aku khawatir dengan kemurungannya. Aku mencoba mendekati dengan hati-hati untuk mengorek  apa yang dirasakannya mengapa akhir akhir ini ia kelihatan murung.
"Putri bolehkan Bunda bicara denganmu," suatu malam di Ruang Keluarga itu seusai makan malam. Sementara suamiku masih asyik membuka buka koran hari itu.Â
"Ada apa Bunda tentu saja boleh," kata Putri. Aku melihat wajah cantiknya memang sedang murung.
"Akhir-akhir ini Bunda melihat Putri selalu murung tidak seperti biasanya. Bolehkah Bunda tahu dan bolehkah Bunda mendengar apa sebenarnya yang terjadi denganmu sayang ?" Kataku agak ragu takut menyinggung perasaannya yang mungkin saat ini sedang peka.Â
Wah benar saja aku melihat Putri terdiam wajahnya semakin murung. Aku benar benar khawatir.Â
Aku melihat suamiku melirik dari balik koran yang dibacanya mengamati wajah anak gadisnya itu.Â
Lama sekali Putri tidak menjawab pertanyaanku. Ya Tuhan Putri malah mulai terisak. Wajahnya penuh dengan air mata. Putri menangis.
"Sayang kenapa menangis ?" Aku mendekat dan memeluknya.Â
Anak gadisku memang sudah dewasa. Tubuhnya yang bagus sudah kelihatan berisi seperti seorang wanita dewasa. Aku memeluknya erat sekali.
"Bunda. Dia meninggalkanku begitu saja. Dia yang selalu menjadi harapanku kini pergi dariku dan mencampakkanku seperti sampah tak berguna."Â