Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bayangan Dosa Menghantui

29 Oktober 2020   14:54 Diperbarui: 29 Oktober 2020   15:50 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber Foto Pixabay)

Entah kapan hati yang teguh itu bisa luruh, aku tetap terus menunggu. Tetapi andai Kinanti Puspitasari sudah siap dilamar, apakah aku mampu menghapus dosa besarku yang tersembunyi selama ini? 

Di tengah kesibukan di Kampus, aku masih menyempatkan menelpon Kinanti di Bandung. Mengobrol seperti biasa dan aku juga merasakan kangen kepadanya seperti biasa.

BACA JUGA : Aborsi

Padahal baru sepekan berlalu kami bertemu, saat menghadiri resepsi pernikahan Audray Lin. Saat itu bahkan Kinanti sempat digoda Audray, mempelai wanita yang cantik.

"Bu Kinan dan Pak Alan segera menyusul ya!" Kata Audray sambil tersenyum padaku. Aku melihat Kinanti hanya tersenyum penuh arti sambil memandang ke arahku.

Sebelum kejadian malam jahanam itu aku pernah meminta kepastian kepada Kinanti, kapan aku bisa datang ke Bandung untuk melamarnya. Namun Kinanti selalu saja mengatakan belum siap.

Teringat pada suatu malam di teras rumah Kinanti itu, kami mengobrol ditemani wedang bajigur yang hangat. Namun aku melihat Kinanti tidak seceria seperti biasanya.

"Kinan sepertinya kamu kurang sehat?"

"Mungkin juga Alan. Semalam aku tidak bisa tidur lelap," kata Kinanti.

"Banyak pikiran? Mungkin aku bisa membantu. Ceritakan padaku agar bebanmu menjadi ringan." Kinanti hanya tersenyum dan aku hanya angkat bahu.

"Tidak banyak pikiran. Aku hanya teringat kata-kata Listya waktu kami bertemu di Malang tempo hari," kata Kinanti.  

Awalnya aku tidak mau menanyakan hal tersebut ketika aku lihat Kinanti terlihat agak murung. Namun ternyata dia sendiri yang membuka ruang untuk berdialog tentang Listya.

"Apa saja yang dia katakan?" Tanyaku.

"Listya sangat mencintaimu Al. Dia tidak mau membayangkan kamu menikah dengan orang lain kecuali denganku. Dia menitipkanmu kepadaku," kata Kinanti dengan suara bergetar.

Mendengar penjelasan Kinanti ini aku hanya terdiam tidak mau berkomentar lebih jauh. Aku biarkan Kinanti bercerita sepuasnya.

"Padahal aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak sanggup untuk menggantikan cintanya yang luhur dan tulus itu," kata Kinanti lagi.

"Sudahlah Kinan, tidak perlu lagi dipikirkan lagi hal itu. Bagaimanapun juga yang terbaik bagiku, Kinanti adalah sahabat sejatiku."

Aku mencoba menenangkan hati Kinanti. Namun ternyata aku melihat ada isak di mata Kinanti. Ya Tuhan dia menangis.

"Alan maafkan aku," suara Kinanti lirih.

"Kinan, tidak perlu minta maaf seperti itu. Aku selalu menerima dan mengikuti kehendakNya. Itulah kuasa yang tidak bisa kita tolak."

Kinanti masih tertunduk dan terisak. Kembali aku menenangkannya agar dia melupakan saja yang pernah dikatakan Listya.

"Aku juga teringat malam itu apa yang dikatakan Ibumu dengan doanya yang tulus agar kau mendapatkan jodohmu," kata Kinanti. "Ibuku juga demikian. Sangat prihatin dengan kesendirianku," kembali suara Kinanti.

Aku sengaja diam untuk mendengarkan segala kegundahan hati Kinanti agar terucap untuk melegakan hatinya. Membiarkannya mengeluarkan curahan hatinya.

"Alan sekali lagi, aku minta maafmu."

"Oke Kinan, aku sudah memaafkanmu tapi untuk kesalahan yang mana."

"Alan kesalahanku adalah karena aku tidak mampu menggantikan cinta Daisy Listya." kata Kinanti. Aku terkejut dengan pernyataan Kinanti ini.

"Kinan sudahlah lupakan saja yang dikatakan Listya. Aku sendiri juga sudah ikhlas menerima yang sekarang terjadi. Hentikan tangismu." Tapi Kinanti masih terisak.

"Aku menginginkan senyummu. Ayo tersenyum Kinan!" Kataku dengan nada penuh bujuk rayu. Kinanti memandangku lalu tersenyum namun air mata dipipinya masih berurai.

"Nah begitu dong, tapi kalau begini, namanya tersenyum dalam tangisan." Kataku menggoda.

"Alan!  Memang kamu itu orang yang selalu membuatku salah tingkah." Kata Kinanti kali ini dia mulai tertawa.

"Apakah hamba boleh membantu mengusap air matamu Tuan Putri?" Aku mulai bercanda lagi.

"Alan. Sudah, sudah. Mulai kumat penyakit lamamu!" Kinanti kali ini tertawa renyah.  Akhirnya aku berhasil membuat Kinanti kembali ceria.

Aku bersyukur bisa mengenal Kinanti. Aku juga bersyukur sempat mengenal dan mencintai Daisy Listya.

Aku juga bersyukur diberi kesempatan berbahagia dengan Diana Faria. Mereka adalah wanita-wanita istimewa dalam hidupku yang selalu ada dalam relung sudut hatiku.

Saat ini mungkin hingga hari-hari ke depan aku terus menunggu kapan Kinanti Puspitasari siap untuk dilamar menjadi istriku.

Entah kapan hati yang teguh itu bisa luruh, aku tetap terus menunggu. Tetapi andai Kinanti Puspitasari sudah siap dilamar, apakah aku mampu menghapus dosa besarku yang tersembunyi selama ini?

@hensa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun