"Tidak banyak pikiran. Aku hanya teringat kata-kata Listya waktu kami bertemu di Malang tempo hari," kata Kinanti. Â
Awalnya aku tidak mau menanyakan hal tersebut ketika aku lihat Kinanti terlihat agak murung. Namun ternyata dia sendiri yang membuka ruang untuk berdialog tentang Listya.
"Apa saja yang dia katakan?" Tanyaku.
"Listya sangat mencintaimu Al. Dia tidak mau membayangkan kamu menikah dengan orang lain kecuali denganku. Dia menitipkanmu kepadaku," kata Kinanti dengan suara bergetar.
Mendengar penjelasan Kinanti ini aku hanya terdiam tidak mau berkomentar lebih jauh. Aku biarkan Kinanti bercerita sepuasnya.
"Padahal aku sudah menjelaskan bahwa aku tidak sanggup untuk menggantikan cintanya yang luhur dan tulus itu," kata Kinanti lagi.
"Sudahlah Kinan, tidak perlu lagi dipikirkan lagi hal itu. Bagaimanapun juga yang terbaik bagiku, Kinanti adalah sahabat sejatiku."
Aku mencoba menenangkan hati Kinanti. Namun ternyata aku melihat ada isak di mata Kinanti. Ya Tuhan dia menangis.
"Alan maafkan aku," suara Kinanti lirih.
"Kinan, tidak perlu minta maaf seperti itu. Aku selalu menerima dan mengikuti kehendakNya. Itulah kuasa yang tidak bisa kita tolak."
Kinanti masih tertunduk dan terisak. Kembali aku menenangkannya agar dia melupakan saja yang pernah dikatakan Listya.