Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sejak Malam Jahanam Itu

23 Oktober 2020   15:20 Diperbarui: 23 Oktober 2020   15:37 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku maunya anak laki-laki biar bisa menyaingi kegantengan Ayahnya!" kata Diana sambil tersenyum manis.

"Kalau begitu aku ingin anak perempuan biar bisa mengalahkan kecantikan Ibunya!" kataku tidak mau kalah. Kami akhirnya hanya tertawa riang karena tidak ada yang mau mengalah.

Malam itu Diana begitu riang tidak seperti biasanya. Aku hanya berfikir wajar karena hari pernikahan kami hanya tinggal seminggu lagi. Namun pada saat aku berpamitan pulang tiba-tiba Diana memegang tanganku begitu erat seakan tidak mau melepaskanku.

"Alan. Aku sangat bahagia. Kita sebentar lagi menjadi suami istri. Cinta kita mendapat izin dan restu dari Allah. Alhamdulillah" suara Diana sangat menyentuh perasaanku. Wajahnya yang cantik itu begitu memukau.

Matanya yang bening menatapku. Tatapan teduh yang damai. Namun ada setitik air mata di sana. Mungkin  airmata terharu. Kubiarkan air mata itu jatuh di kedua pipinya mengalir pelan-pelan.  Aku lepaskan pegangan tangannya yang erat menggenggam tanganku. Lalu aku mencium keningnya dengan penuh cinta.

"Alan aku takut kehilanganmu," kembali suara Diana pelan penuh haru.

"Aku selalu ada untukmu," kataku menenteramkan hatinya.

Malam itu, entah kenapa seperti ada perasaan gundah dalam hati Diana Faria. Pertanyaan ini baru terjawab ketika esok siangnya aku harus menerima kabar menyedihkan itu.

Di ruang ICU itu aku masih sempat memeluk mendiang Diana Faria untuk yang terakhir kalinya sebelum dibawa untuk dimandikan.  Prosesi pemakamanpun berjalan dengan lancar. Aku masih duduk di hadapan makam Diana Faria walaupun suasana di makam itu sudah sepi. Saat itu aku hanya bisa berdoa dan berusaha untuk ikhlas walaupun rasanya tidak mudah. Hanya Allah yang mampu membukakan hatiku.

Di tengah-tengah karirku dan pengabdianku sebagai seorang Dosen, ternyata Allah telah mengirim seorang gadis bernama Daisy Listya seorang mahasiswi di fakultasku sendiri.

Seorang gadis cantik, cerdas, berkepribadian luhur, memiliki prinsip hidup. Dialah yang telah membuka dan mencairkan kebekuan hatiku. Gadis ini telah menyadarkanku dari mimpi buruk yang panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun