Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sejak Malam Jahanam Itu

23 Oktober 2020   15:20 Diperbarui: 23 Oktober 2020   15:37 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto Pixabay

Sudah sebulan sejak Hari Wisuda Program Profesi Apoteker itu, aku tidak bertemu dengan Audray Lin. Ketika aku berkunjung ke rumahnya di kawasan Darmo Permai, aku tidak menjumpai Audray Lin. Tantenya hanya bilang bahwa usai lulus itu Audray sudah kembali ke Jakarta.

BACA JUGA : Petaka di Tengah Hujan Deras

Sudah beberapa kali aku juga menghubungi lewat ponselnya, namun selalu tidak aktif. Aku harus menemui Audray Lin di Jakarta dan aku ingin bertanggung jawab dengan yang terjadi pada malam jahanam itu.

Alamat Audray di Jakarta juga sudah aku dapatkan dari Tantenya. Hanya tinggal mengatur waktu kapan ke Jakarta disesuaikan dengan agenda kerjaku.

Peristiwa malam jahanam itu benar-benar sangat mengganggu perasaan batinku. Dalam keresahan hati yang kacau ini, tetiba terbayang sosok mendiang Diana Faria.  

Sudah 20 tahun peristiwa itu berlalu. Diana Faria adalah calon istriku yang harus dipanggil oleh Yang Maha Punya, hanya seminggu sebelum hari pernikahan kami.

Seperti apa cintaku kepada Diana Faria sehingga selama 20 tahun itu aku benar-benar menutup pintu hati rapat sekali. Tidak ada celah sedikitpun ruang. Sungguh bagiku Diana Faria adalah wanita yang tidak akan mudah tergantikan.

Saat itu Diana Faria adalah calon ibu dari anak-anakku. Diana Faria mungkin bukan cinta pertamaku namun saat itu dialah cinta terakhirku.

Malam sebelum kejadian kecelakaan lalu lintas itu aku sempat bersama Diana Faria di Beranda rumahnya. Sekaligus itulah malam terkahir aku berbincang dengannya. Topik perbincangan kami waktu itu adalah tentang anak laki-laki dan perempuan.

"Diana apa yang kau inginkan jika nanti dikaruniai seorang anak?" tanyaku.

"Aku maunya anak laki-laki biar bisa menyaingi kegantengan Ayahnya!" kata Diana sambil tersenyum manis.

"Kalau begitu aku ingin anak perempuan biar bisa mengalahkan kecantikan Ibunya!" kataku tidak mau kalah. Kami akhirnya hanya tertawa riang karena tidak ada yang mau mengalah.

Malam itu Diana begitu riang tidak seperti biasanya. Aku hanya berfikir wajar karena hari pernikahan kami hanya tinggal seminggu lagi. Namun pada saat aku berpamitan pulang tiba-tiba Diana memegang tanganku begitu erat seakan tidak mau melepaskanku.

"Alan. Aku sangat bahagia. Kita sebentar lagi menjadi suami istri. Cinta kita mendapat izin dan restu dari Allah. Alhamdulillah" suara Diana sangat menyentuh perasaanku. Wajahnya yang cantik itu begitu memukau.

Matanya yang bening menatapku. Tatapan teduh yang damai. Namun ada setitik air mata di sana. Mungkin  airmata terharu. Kubiarkan air mata itu jatuh di kedua pipinya mengalir pelan-pelan.  Aku lepaskan pegangan tangannya yang erat menggenggam tanganku. Lalu aku mencium keningnya dengan penuh cinta.

"Alan aku takut kehilanganmu," kembali suara Diana pelan penuh haru.

"Aku selalu ada untukmu," kataku menenteramkan hatinya.

Malam itu, entah kenapa seperti ada perasaan gundah dalam hati Diana Faria. Pertanyaan ini baru terjawab ketika esok siangnya aku harus menerima kabar menyedihkan itu.

Di ruang ICU itu aku masih sempat memeluk mendiang Diana Faria untuk yang terakhir kalinya sebelum dibawa untuk dimandikan.  Prosesi pemakamanpun berjalan dengan lancar. Aku masih duduk di hadapan makam Diana Faria walaupun suasana di makam itu sudah sepi. Saat itu aku hanya bisa berdoa dan berusaha untuk ikhlas walaupun rasanya tidak mudah. Hanya Allah yang mampu membukakan hatiku.

Di tengah-tengah karirku dan pengabdianku sebagai seorang Dosen, ternyata Allah telah mengirim seorang gadis bernama Daisy Listya seorang mahasiswi di fakultasku sendiri.

Seorang gadis cantik, cerdas, berkepribadian luhur, memiliki prinsip hidup. Dialah yang telah membuka dan mencairkan kebekuan hatiku. Gadis ini telah menyadarkanku dari mimpi buruk yang panjang.

Daisy Listya memang akhirnya bukan menjadi teman hidupku karena seusai Wisuda Sarjana, gadis ini akhirnya bertunangan dengan pria lain bahkan hubungan mereka berlanjut sampai jenjang pernikahan.

Aku memang tidak mampu berbuat apa-apa, namun bagaimanapun juga bagiku, seorang Daisy Listya adalah gadis yang telah mampu membuka hati ini menjadi merasa hidup kembali.

Jika ada pepatah mencintai itu tidak harus memiliki maka inilah realita yang harus kuhadapi. Benarkah cinta itu menjadi sangat tinggi nilainya ketika harus mencintai tapi tidak harus memiliki? Benarkah? Omong kosong karena hingga saat ini aku belum pernah menemukan jawabannya.

Dalam kegalauan hati yang kusut ini, selalu hadir dengan setia Kinanti Puspitasari untuk menenteramkan hati. Kinanti seakan selalu ada pada saat aku memerlukannya. 

Sepenggal kisah itu seakan masih lengkap terbayang di benakku. Daisy Listya dan Kinanti Puspitasari adalah dua wanita yang saat ini selalu menggugah kedalaman hatiku. Walau di sana di tempat terdalam, tetap ada Diana Faria yang tidak mungkin tergantikan. 

Aku teringat saat dialog terakhir dengan Listya setahun yang lalu di Laboratorium Instrumen Analisa. Saat itu aku harus mengambil keputusan tentang isi hatiku kepada Daisy Listya. Saat itu aku hanya ingin agar Listya tahu apa sebenarnya yang selama ini aku rasakan. Aku hanya ingin sekedar mengatakan kejujuran hatiku.

"Listya. Saya ingin mengatakan sesuatu," kataku sambil kupegang kedua tangannya. Saat itu Listya hanya menatapku penuh haru seakan akan dia seperti sudah tahu apa yang mau kukatakan.

"Saya ingin mengatakan wanita yang telah menggugah hati selama ini." Kataku perlahan. Saat itu Listya hanya terdiam menatapku.

"Wanita itu bukan Kinanti Puspitasari. Dia adalah wanita yang lembut hatinya, ramah dan santun tutur katanya, manis senyumnya. Wajahnya memiliki aura kecantikan yang tulus dan sekarang orangnya ada di depanku ini." Kataku sambil kutatap tajam Listya.

Aku waktu itu hanya tertegun ketika terdengar bibir Listya menyebut namaku pelan sambil memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.

Ternyata diluar dugaanku, Listya juga memiliki perasaan sama. Wanita ini sudah sejak lama mencintaiku.

"Pak Alan, sesungguhnya cinta itu mulai tumbuh saat saya menjadi mahasiswi bimbingan Bapak." Kata wanita cantik ini perlahan dengan suara lembut penuh perasaan.

Tiada terasa waktu begitu cepat berlalu dan kini Daisy Listya sudah rampung menyelesaikan Pendidikan Profesi Apotekernya.

Sejak itu aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Listya. Hampir tidak ada lagi komunikasi biarpun hanya pesan lewat ponsel apalagi bertemu muka.

Aku hanya teringat akan pesan terakhirnya agar aku menikahi Kinanti Puspitasari. Namun pesan inipun akhirnya tidak bisa aku wujudkan.

Sewaktu aku ceritakan hal ini kepada Kinanti, wanita cantik ini hanya tertegun, diam membisu tak ada satu katapun keluar dari bibirnya. Kinanti malah terisak mendengar cerita yang dramatis itu.

"Alan aku bisa merasakan betapa besarnya cinta Listya kepadamu. Curahan hati Listya kepadaku saat itu membuatku terharu," suara haru Kinanti.

Aku juga hanya bisa mengangguk ketika Kinanti berkata bahwa Listya layak mendapat kebahagiaan dariku.

Jika saat ini kehidupan rumah tangga Listya tidak bahagia itu karena Listya memang hanya mencintaiku. Pendapat Kinanti yang satu ini yang membuatku benar-benar merasa resah.

Lamunanku buyar ketika ponselku menyuarakan nada panggil. Aku terkejut ternyata panggilan dari Audray Lin.

"Hallo!"

"Hallo Pak Alan!" Suara Audray Lin di seberang sana. Akhirnya dia muncul juga membuatku lega. Pembicaraan kami melalu ponsel tidak banyak. Audray hanya ingin bertemu denganku untuk membicarakan hal yang sangat penting.

Aku belum tahu apa yang akan dibicarakan dengannya. Mungkin masalah tanggung jawabku di malam penuh petaka itu. Aku juga sudah siap bertanggung jawab.

Sementara ini aku harus berani melupakan Kinanti Puspitasari dan Daisy Listya. Karena Audray Lin harus hadir karena kebodohanku.  

@hensa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun