Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jin di Pesantren Pecandu Narkoba

7 Oktober 2020   16:43 Diperbarui: 7 Oktober 2020   16:43 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Pixabay

Habis sholat Subuh itu, para Santri sudah boleh kembali ke kamar mereka masing-masing. Tetapi aku dan Reza masih berada di area Masjid Pesantren itu. 

"Hen, Masjid ini usianya sudah ratusan tahun. Walaupun sudah direnovasi tapi bangunan aslinya masih ada." Kata Reza sambil menunjuk arah Barat. Di sana ada bangunan tua tapi masih menyatu dengan Masjid utama. 

"Konon di sana sering ada Jin. Santri di sini sering memergoki mereka."

"Mereka?" Tanyaku, mereka berarti Jin nya banyak. 

"Iya mereka. Karena Jin nya lebih dari satu." 

Sudah hampir sebulan ini aku mengikuti program pemulihan di Pesantren ini. Sebelumnya, selama enam bulan aku dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat, namun tidak ada kemajuan sama sekali. Bukan Rumah Sakitnya yang tidak bermutu tapi kecanduanku yang sudah terlalu parah. 

Akhirnya Kakek yang tinggal di desa membawaku ke sebuah Pesantren di Tasikmalaya. Untuk kebaikanku dan keluarga, aku hanya mengikuti saja kemauan Kakek. 

Tidak pernah terpikir dalam hidupku menjalani kegiatan sehari-hari di sebuah Pesantren. Kegiatan rutin yang harus dijalani walaupun sebenarnya membosankan, namun ternyata  membawa ketenangan jiwa. 

Setiap hari kami harus bangun tengah malam. Mandi dengan bersih untuk mensucikan tubuh, kemudian mengambil air wudu. Sholat malam kemudian dilanjutkan dengan kegiatan dzikir dan membaca Al Quran dan di akhiri dengan Sholat Subuh berjamaah. 

Tidak seperti malam kemarin ditemani Reza, kali ini aku sendiri menyelesaikan aktivitas dzikir di Masjid yang sudah mulai sepi usai Subuh itu. 

Penuh khusyu aku bertasbih memuliakan Nama Allah. Sayup terdengar alunan suara wanita membacakan ayat suci Al Quran. Aku sangat tenteram mendengar lantunan tilawah Al-Quran yang dibaca wanita itu. 

Aku menatap ke arah ruangan bangunan tua di Barat itu. Rupanya dari sana alunan merdu dan syahdu alunan tilawah Al Quran itu. Aku tidak berani mendekat karena takut mengganggu kekhusyuannya. 

Besok malamnya, kembali aku mendengar alunan tilawah Al Quran itu dari ruangan bangunan tua di Barat Masjid itu. Aku juga melihat wanita yang sama yang membacakan Ayat-ayat Suci Allah itu. 

Usai menutup Kitab Sucinya, aku memberanikan diri menyapa wanita itu. Aku melihat wajah wanita itu bercahaya dalam balutan jilbab hitam. Sorot matanya teduh menenteramkan. Hidung bangir dan bibir ramah tampaknya murah senyum. 

Benar saja, ketika aku menyapanya dengan salam. Dia membalas salamku diringi senyumnya yang ramah.  

"Kamu Santriwati baru ya?"

"Bukan aku sudah lama di sini. Kamu siapa?" Wanita itu balik bertanya. 

"Aku Santri yang baru sebulan di sini. Panggil saja namaku Hen!"

"Aku Malayeka, panggil saja Mala!" 

Perkenalan singkat namun sangat mengesankan. Sungguh kehadiran Malayeka membuat semangatku untuk sembuh semakin tinggi. Semua program setiap hari aku ikuti dengan khusyu. Terutama yang paling menyasyikkan adalah bertemu Malayeka usai Subuh sambil mendengarkan suara indah bacaan tilawah AlQuran yang dialunkannya.

"Hen, bagaimana perasaan batinmu saat ini?" Tanya Malayeka. 

"Alhamdulillah semakin membaik."

"Syukurlah. Perjuangan paling berat adalah memerangi diri sendiri." Ujar Mala penuh nasehat bijak. Senyum wanita ini menenteramkan apalagi sorot matanya yang tajam itu sangat teduh di hati. 

Aku hampir memastikan bahwa Malayeka sudah banyak membantuku mempercepat kesembuhanku. Setiap aku bertemu dengannya pada setiap usai Subuh itu, menjadi momen yang begitu berarti bagiku. Banyak petuah dan kata-kata motivasi yang diberikannya padaku.  

Pembimbing rohaniku memberikan hasil evaluasi bahwa aku mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam beberapa pekan ini. Aku sangat gembira menerima hasil evaluasi ini. 

Bahkan Pengasuh di Pesantren itu menjamin bulan depan aku sudah boleh pulang berkumpul dengan keluarga. Bebas dari ketergantungan pada narkoba memang tujuan utamaku. 

Sudah dua hari ini ketika usai Subuh itu, aku tidak mendengar alunan tilawah Al Quran dari Malayeka. Aku merasa kehilangan. Aku mencoba mendekati bangunan tua itu untuk memastikan ada Malayeka di sana. Tetapi tidak ada. 

"Hen, kamu sedang apa di situ?" Suara Reza. 

"Aku sedang mencari Malayeka." Jawabku tegas. 

Mendengar jawabanku tampak Reza terkejut. Kemudian dia cepat-cepat menarikku menjauh dari bangunan tua itu. Reza membisikkan sesuatu yang membuat  aku hanya bisa tertegun dan membisu.  

@hensa   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun