Beberapa malam ini aku sengaja tidak menelpon Kinanti. Sudah tiga malam dan ini malam yang ke empat. Padahal sebelumnya hampir setiap malam aku ngobrol dengan Kinanti melalui ponsel.
Aku hanya ingin tahu apakah Kinanti rindu denganku ataukah tidak. Apakah Kinanti merasa kehilangan aku ataukah tidak. Metode lamaku kembali aku jalankan.
Aku bisa mengetahui bagaimana nanti Kinanti bersikap. Â Dari sana aku bisa menebak isi hatinya.
Sebenarnya saat ini aku tahu Kinanti memang sedang butuh kehadiranku. Hanya saja aku tidak mau jika itu sekedar dijadikan tempat untuk pelarian kekecewaanya terhadap Eko yang menghianatinya.
Malam yang melelahkan dan ternyata telepon yang aku tunggu tidak pernah berbunyi. Kemana Kinanti? Kok malah aku yang rindu padanya?
Jumat pagi ini seperti biasa, lalu lintas Kota Surabaya padat penuh dengan semangat. Motor-motor seakan berkejaran dengan waktu sedangkan mobil harus banyak mengalah untuk memberi jalan. Kemacetan seakan sudah menjadi ritual sehari-hari.
Alhamdulillah pagi itu aku sudah tiba di ruang kerjaku. Aku menyusun agenda hari ini. Mengisi kuliah di Pasca Sarjana sampai pukul sebelas siang.
Sorenya ada pengamatan data penelitian mahasiswa di Laboratorium Instrumen. Ketika aku sedang mempersiapkan bahan untuk mengisi kuliah tiba-tiba ponsel berdering. Ternyata Intan yang menelpon.
"Hallo Om Alan!" Suara Intan terdengar khawatir.
"Ya, Intan!"
"Om Alan, ada khabar buruk. Ibu sedang di rawat di Rumah Sakit!"
"Lho Ibumu sakit apa?" Tanyaku terkejut.
"Tekanan darahnya turun drastis namun sekarang sudah ditangani dokter. Ibu sedang beristirahat kondisinya sudah lumayan," kata Intan.
"Baik Intan sore ini Om Alan ke Bandung!"
"Iya Om kelihatannya Ibu sangat membutuhkan Om Alan," suara Intan penuh harap.
Ya Allah kalimat itu keluar dari bibir Intan Permatasari, anak gadisnya Kinanti. Aku sangat terharu mendengarnya.Â
Bandara Juanda sore itu tidak begitu sibuk sehingga aku masih dapat tiket untuk penerbangan ke Bandung. Menjelang Isya aku sudah mendarat di Bandara Husein Santranegara.
Aku menggunakan Taksi menuju Rumah Sakit Boromeus di jalan Juanda tempat dimana Kinanti dirawat. Melalui jalan layang Pasopati tidak sampai satu jam akhirnya taksi itu mengantarku ke halaman parkir Rumah Sakit Boromeus.
Segera aku menuju kamar rawat di lantai dua. Aku ketuk pintu kamar dan ketika pintu terbuka Intan sudah berdiri menyambutku.
"Om Alan Bu!" Suara Intan dengan gembira memberitahu ibunya.
"Assalaamu alaikum," aku memberi salam.
Aku melihat Kinanti tersenyum padaku sambil membalas salamku. Kinanti terlihat pucat. Memang butuh istirahat untuk mengembalikan kondisi kesehatannya.
Tekanan darahnya rendah dan ternyata hasil uji Laboratorium menunjukkan kadar haemoglobinnya juga rendah.
Kinanti mungkin terlalu lelah. Terutama karena kelelahan tidak hanya secara fisik namun juga psikis.
"Terima kasih Alan sudah mau menjengukku," kata Kinanti dengan suara lemah namun wajahnya menampakkan kegembiraan.
"Alhamdulillah Kinan. Tentu saja aku pasti menjengukmu apalagi sedang sakit begini sedang tidak sakitpun aku tetap menjengukmu," kataku.
"Iya Bu. Jika Om Alan menjenguk Ibu saat sedang sakit, itu artinya khawatir namun jika Om Alan menjenguk Ibu waktu tidak sakit, itu artinya karena rindu!" suara Intan menggoda sambil tertawa.
Rupanya Intan sudah mulai berseloroh. Mendengar ini aku tertawa, namun  Kinanti hanya tersenyum.
"Intan, sekarangpun Om Alan menjenguk Ibumu juga karena rindu lho," kataku tidak kalah dengan Intan untuk menggoda Kinanti.
Ruangan rawat inap itupun penuh dengan canda dan tawa. Suasana yang sangat menggembirakan.
"Kinan bagaimana kondisi terakhir?" tanyaku.
"Alhamdulillah, tensi sudah mulai membaik dan haemoglobin mudah-mudahan juga sudah meningkat dengan transfusi ini," kata Kinanti.
"Syukurlah beristirahatlah sampai pulih lagi jangan terlalu banyak pikiran," kataku.
"Om Alan sih enggak mau ngerti. Ibu tuh banyak pikiran karena orang Surabayanya nggak mau ngerti," kata Intan lagi-lagi menggoda Ibunya.
"Intan, jangan macam-macam kamu itu," suara Kinanti sambil cemberut. Aku kembali tertawa.Â
Kinanti benar-benar tidak berkutik dikerjain anak gadisnya sendiri. Memang suasana ruangan tempat Kinanti dirawat demikian hangat dengan canda dan tawa. Aku melihat Kinanti seperti terlahir kembali. Â Wajahnya sudah nampak bersinar lagi.
Wanita cantik yang terbaring di ruang perawatan ini seakan sudah pulih. Aku kembali melihat mata yang berbinar jika Kinanti berbicara dan menatapku.
Aku juga merasakan ada rindu pada sorot matanya. Iya Kinanti memang merindukanku, seperti halnya aku merindukannya.
Sabtu pagi esoknya ketika aku kembali menjenguk, Kinanti sudah kelihatan bugar. Wajah cantiknya sudah kembali memancar secerah pagi ini.
Kota Bandung ditemani Matahari yang bersinar dengan langit cerah berwarna biru. Hari ini aku mempunyai kesempatan seharian menemani Kinanti.
Intan sendiri hari Sabtu ini ada kegiatan di Kampusnya sehingga aku benar-benar hanya bersama Kinanti. Aku gembira Kinanti sudah terlihat semakin pulih.
"Menurut dokter yang memeriksaku pagi tadi, Inshaa Allah hari Senin besok aku sudah diperbolehkan pulang," kata Kinanti.
"Alhamdulillah. Kinan sungguh aku senang mendengarnya. Aku perhatikan dari kemarin, wajah Kinanti sekarang sudah kembali berbinar seperti biasanya," kataku mulai menggoda.
"Alan Erlangga, mulai kumat!" Kata Kinanti mendelik. Aku tertawa lepas.
"Lalu apa pesan dokter tadi pagi untuk menjaga kesehatanmu?" Tanyaku.
"Dokter bilang padaku jangan terlalu banyak pikiran, istirahat cukup dan perhatikan makan." Jelas Kinanti
"Nah itu. Terlalu banyak yang dipikirkan. Sebaiknya Kinanti memikirkan satu hal saja." Usulku nakal.
"Memikirkan satu hal? Apa itu?"
"Cukup memikirkan satu hal yaitu pikirkan Alan Erlangga saja." Kataku sambil tertawa. Untuk kali ini sebuah cubitan mendarat di perutku dan aku hanya mengaduh.
"Memang dasar Alan Erlangga sering kumat sifat jeleknya!"
"Astagfirullah sifat jelek yang mana?" Kataku protes.
"Itu yang pintar bikin rayuan gombal."
Aku kembali tertawa sementara Kinanti hanya tersenyum. Aku benar-benar lega karena aku melihat Kinanti sudah bisa tersenyum gembira.
Menjelang sore aku segera berpamitan sesaat setelah Intan dan Bapak Ibunya datang menjenguk Kinanti.
Kedua orang tua Kinanti mengucapkan terima kasih atas kunjunganku. Bagiku beliau-beliau sudah bukan orang lain tapi sudah seperti orang tuaku sendiri.
Terutama Ibunya seakan penuh harap kepadaku agar aku selalu tetap bisa menjaga Kinanti. Aku bisa merasakan dari dialog dialog kecilnya bersamaku. Sebelum aku berpamitan Intan masih sempat bercanda menggoda Ibunya.
"Om ternyata obatnya Ibu itu ada di Surabaya. Buktinya setelah obat itu datang menjenguk sekarang Ibu sudah sehat lagi." Kata Intan dan kami di ruang itu tertawa sementara Kinanti hanya bisa melotot kepada anak gadisnya.
Minggu pagi itu sebelum aku kembali ke Surabaya, aku masih sempat menjenguk Kinanti di Rumah Sakit Boromeus.
"Kinan siang ini aku kembali ke Surabaya. Semoga kau tetap sehat dan kembali ceria jangan murung. Jangan terlalu banyak pikiran. Cukup pikirkan satu hal saja."
Untuk kali ini Kinanti tersenyum penuh arti dan aku tahu arti dari senyum itu. Senyum manis dari wanita dengan mata indah bercahaya maka lengkaplah kecantikan Kinanti Puspitasari. Sungguh aku sangat betah memandang wajahnya. Â
"Alan, sungguh aku sangat bahagia memiliki sahabat sepertimu. Sungguh aku merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisi sahabat sejatiku ini," kata Kinanti.
"Alhamdulillah. Aku juga demikian Kinanti adalah sahabat sejatiku yang selalu membuat aku penasaran. Sahabat yang selalu membuatku bertanya-tanya," kataku.
"Mengapa aku membuatmu selalu bertanya-tanya? Profesor, apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan?" kata Kinanti sambil senyum-senyum.
"Entahlah saking banyaknya pertanyaan sehingga tidak satupun yang mampu aku ingat," kataku juga sambil senyum-senyum.
"Baiklah Profesor. Jika nanti sudah ingat pertanyaan itu segeralah katakan kepadaku."
Dialog-dialog itu akhirnya membuat kami tertawa. Aku merasakan kebahagiaan yang lain terutama ketika Kinanti mengatakan merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisiku.
Benarkah? Mudah-mudahan bukan sekedar angin Surga. Ternyata perjuangan masih panjang maka akupun siang itu berpamitan kembali ke Surabaya.
"Hati-hati Alan jaga dirimu baik-baik. Kabari aku jika sudah tiba di Surabaya," pesan Kinanti.
"Juga untuk Kinan jaga kesehatan, cukup fikirkan satu hal saja ya!" Kataku.Â
Kinanti mengangguk sambil tersenyum penuh seribu arti.
@hensa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H