Menjelang sore aku segera berpamitan sesaat setelah Intan dan Bapak Ibunya datang menjenguk Kinanti.
Kedua orang tua Kinanti mengucapkan terima kasih atas kunjunganku. Bagiku beliau-beliau sudah bukan orang lain tapi sudah seperti orang tuaku sendiri.
Terutama Ibunya seakan penuh harap kepadaku agar aku selalu tetap bisa menjaga Kinanti. Aku bisa merasakan dari dialog dialog kecilnya bersamaku. Sebelum aku berpamitan Intan masih sempat bercanda menggoda Ibunya.
"Om ternyata obatnya Ibu itu ada di Surabaya. Buktinya setelah obat itu datang menjenguk sekarang Ibu sudah sehat lagi." Kata Intan dan kami di ruang itu tertawa sementara Kinanti hanya bisa melotot kepada anak gadisnya.
Minggu pagi itu sebelum aku kembali ke Surabaya, aku masih sempat menjenguk Kinanti di Rumah Sakit Boromeus.
"Kinan siang ini aku kembali ke Surabaya. Semoga kau tetap sehat dan kembali ceria jangan murung. Jangan terlalu banyak pikiran. Cukup pikirkan satu hal saja."
Untuk kali ini Kinanti tersenyum penuh arti dan aku tahu arti dari senyum itu. Senyum manis dari wanita dengan mata indah bercahaya maka lengkaplah kecantikan Kinanti Puspitasari. Sungguh aku sangat betah memandang wajahnya. Â
"Alan, sungguh aku sangat bahagia memiliki sahabat sepertimu. Sungguh aku merasa nyaman, tenang, tentram berada di sisi sahabat sejatiku ini," kata Kinanti.
"Alhamdulillah. Aku juga demikian Kinanti adalah sahabat sejatiku yang selalu membuat aku penasaran. Sahabat yang selalu membuatku bertanya-tanya," kataku.
"Mengapa aku membuatmu selalu bertanya-tanya? Profesor, apa sebenarnya yang ingin kau tanyakan?" kata Kinanti sambil senyum-senyum.
"Entahlah saking banyaknya pertanyaan sehingga tidak satupun yang mampu aku ingat," kataku juga sambil senyum-senyum.