Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: KDRT

28 September 2020   15:51 Diperbarui: 28 September 2020   16:04 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Pixabay

"Bagi saya sendiri ada hal yang saya tidak tahu apakah ini takdir saya. Apakah saya boleh berdoa untuk mendapatkan takdir yang lain? Apakah dengan berdoa untuk mendapatkan takdir yang lain saya berdosa?" Daisy Listya

Agenda hari ini seperti biasa sangat padat setelah mengisi kuliah di Pasca Sarjana dan Program Profesi Apoteker. Kegiatan berikutnya adalah Rapat Tim Akreditasi Laboratorium Farmasi.

Setelah istirahat nanti mungkin aku baru bisa melanjutkan mengolah data penelitianku di Laboratorium.

Aku segera meninggalkan ruangan menuju Gedung Pasca Sarjana cukup hanya berjalan kaki saja karena hanya berjarak beberapa meter saja dari Fakultas Farmasi.

Pagi itu kegiatan Kampus benar-benar hidup. Kantin penuh oleh mahasiswa yang sarapan atau hanya sekedar duduk-duduk sambil minum kopi. Sementara mahasiswa yang mengikuti kuliah mulai bergegas menuju ruang kuliah.

Aku menelusuri trotoar kampus yang juga cukup ramai dengan lalu lalang para mahasiswa. "Selamat pagi Pak Alan!" Beberapa mahasiswa menyapaku ketika kami berpapasan. Aku menyambut sapaan mereka dengan senyum.

Hari ini memang penuh dengan senyum seakan semua orang tersenyum padaku. Semua senyum yang aku terima sangat menawan penuh ramah.

Setelah sesi kuliah di Program Pasca, hari ini adalah kuliah pertama untuk Program Apoteker. Ketika aku memasuki Ruang kuliah semua peserta program ini sudah duduk dengan tertib.

Aku mengenal beberapa mahasiswa atau mahasiswi yang dulu pernah ku bimbing. Aku melihat Listya duduk dibarisan kedua sementara di depannya Audray Lin, gadis cantik berdarah Tionghoa itu.

Ketika mataku tertuju kepada Listya, wanita ini tersenyum kepadaku dan aku benar benar terpana. Senyum itu adalah senyum mendiang calon istriku, Diana Faria seakan di ruang ini ada Diana Faria.

Ya Allah aku memohon kepadaMu berikanlah kekuatan untuk menghadapi cobaan perasaan hati ini. Diana Faria adalah masa lalu yang tidak mungkin kembali dan Daisy Listya tidak boleh disamakan dengan Diana Faria.

Biarkan Daisy Listya menjadi dirinya sendiri dan aku tidak boleh lagi melihat dia sebagai Diana Faria.

Jika memang aku mencintai Daisy Listya maka itu berarti aku mencintainya dengan sepenuh hatiku sebagai Daisy Listya seutuhnya bukan lagi bayang-bayang Diana Faria.

Mengisi kuliah pertama program apoteker pagi ini benar-benar penuh dengan tantangan. Aku tidak bisa konsentrasi dengan baik. Namun demikian kuliah pagi ini akhirnya berjalan dengan lancar sampai dengan sesi tanya jawab usai.

Mahasiswapun satu persatu bergegas meninggalkan ruangan kecuali Listya dan Audray. Mereka masih duduk seperti menungguku

"Hai kalian masih di ruangan ini?" Tanyaku.

"Iya Prof. Habis kuliahnya menarik sih," kata Audray Lin. Sementara kulihat Listya hanya tersenyum.

"Oh ya kalian belum saling kenal ya. Audray ini Listya. Listya ini Audray!"

Mereka berjabat tangan sambil mengenalkan diri masing-masing.

"Listya angkatan tahun berapa ya?" Tanya Audray.

"Baru lulus tahun kemarin," jawab Listya.

"Oh aku dua tahun lebih dulu," kata Audray.

"Iya Lin, ini Listya baru wisuda tahun lalu!" kataku menjelaskan.

"Oke kalian ngobrol saja disini. Saya pamit duluan karena sebentar lagi ada rapat di Fakultas." Kataku berpamitan.

Sengaja aku cepat bergegas, dari pada nanti terjebak oleh ajakan Audray Lin yang suka macam-macam.

"Oh ya Pak Alan tadi malam Bu Kinan perjalanannya lancar sampai Bandung?" Listya bertanya.

"Alhamdulillah Listya semua lancar. Bu Kinan tiba Bandung sekitar pukul sebelas malam," jawabku.

"Sebentar sebentar," suara Audray memotong. "Bu Kinan itu Bu Kinanti Puspitasari ya." Tanyanya kepada Listya.

"Mbak Audray kenal dengan Bu Kinan?" Listya balik bertanya.

"Enggak sih cuma tahu dari Pak Alan. Bu Kinanti calon istrinya Pak Alan. Benarkan Pak?" Suara Audray. Mati aku dasar Audray Lin. Aku melihat Listya tersenyum padaku.

"Sudahlah tidak boleh bikin gosip nanti tercium infotainment. Oke aku pamit dulu ya Lin, Listya!"

Aku memotong pembicaraan, kemudian bergegas meninggalkan mereka di ruang kuliah itu.

Dari kemarin orang-orang di sekitarku selalu membicarakan Kinanti Puspitasari sebagai pendamping hidupku sementara Kinanti sendiri selalu memposisikan Listya adalah pasangan idealku.

Namun sangat disayangkan Listya sendiri sudah memiliki suami. Aku selalu ingin berpegang kepada realita.  Adalah hal yang tidak mungkin Listya dapat mewujudkan mimpiku. Demikian juga realitanya Kinanti hingga saat ini masih menganggapku sahabatnya.

"Bagi saya sendiri ada hal yang saya tidak tahu apakah ini takdir saya. Apakah saya boleh berdoa untuk mendapatkan takdir yang lain? Apakah dengan berdoa untuk mendapatkan takdir yang lain saya berdosa?"

 Demikian kata-kata Listya yang selalu terngiang ditelingaku. Listya mengharapkan takdir yang lain bukan takdir menjadi istri Rizal Anugerah? Takdir yang lain itu takdir yang mana?

Listya tidak berbahagia dalam bahtera rumah tangganya. Seringkali dirinya mendapatkan perlakuan kekerasan dari suaminya. Kinanti selalu mengabari setiap keluhan dan curahan hati Listya.

Ternyata mereka kerap kali saling curhat walaupun melalui ponsel. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa setiap menerima cerita dari Kinanti tentang kekerasan dalam rumah tangga Daisy Listya.

Mungkin hanya sebatas memberi rasa simpati dan nasihat agar Listya bisa selalu bersabar. Hal itu memang tindakkan yang logis dan etis kulakukan tidak boleh terlalu mencampuri urusan rumah tangga Listya.

Hanya belakangan ini ada hal yang menggangguku yaitu kasus KDRT suami Listya. Ini adalah keprihatinanku kepada Listya. Aku tidak tahu bagaimana harus berbuat?

Akhir-akhir ini memang kuakui ada rasa rindu saat SMA dulu bersama Kinanti. Semakin seringnya bertemu dengan Kinanti atau paling tidak komunikasi lewat ponsel maka semakin terbayang pula masa-masa dulu.

Aku yakin sekarangpun Kinanti tahu kalau aku pernah mencintainya karena memang aku dulu pernah mengatakannya. Hanya saja aku tidak tahu apakah saat ini Kinanti mau membuka pintu hatinya untukku?

Listya sendiri bahkan menganggap Kinanti beruntung karena mempunyai calon suami sepertiku. Tetapi fakta lain yang dikatakan Kinanti waktu itu, bahwa dia sebagai seorang wanita bisa mengerti saat Listya merasa mendapatkan perlindungan ketika berada di dekatku.

Kasus KDRT yang dialami Listya juga sering dikatakan oleh Kinanti sebagai kemalangan wanita cantik yang mirip mendiang Diana Faria itu. Tidak layak Daisy Listya mendapat perlakuan seperti itu.

"Mendapatkan kenyamanan, kegembiraan, kedamaian hati. Listya merasakan perhatianmu kepadanya terlepas dari statusmu sebagai dosen pembimbing mahasiswinya!" suara Kinanti meyakinkan.

Aku sungguh harus bertanya kepada hatiku sebenarnya harus kemana aku melangkah. Ketika aku bertanya maka jawaban hatiku selalu ingin kepada realita namun haruskah aku berdamai dengan hatiku.

@hensa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun