Ada hal yang menarik dalam pertemuan di Kantin itu, ketika kami berpisah Intan masih sempat berkata kepadaku.
"Om Alan, tetap semangat dong. Cinta sejati harus diperjuangkan," kata Intan sambil tersenyum menawan.
Aku tertawa mendengar kata-kata itu. Â Akhirnya kamipun berpisah diujung pintu Kantin itu.
Sejak dialog kecil di Kantin Kampus tiga hari yang lalu itu rupanya komunikasi dengan Intan semakin sering saja.
Pembicaraan yang diceritakan Intan adalah seputar kemurungan Ibunya dan persiapan pernikahannya. Setiap malam ada saja yang diceritakan Intan melalui ponselnya.
Kadang-kadang aku sendiri yang sengaja telpon Intan untuk mengetahui situasi terkini tentang Kinanti.
"Om, aku pernah cerita kepada Ibu, bahwa lelaki yang cocok untuk Ibu itu hanya Om Alan. Aku juga bilang bahwa Om Alan pantas menjadi Ayahku," kata Intan suatu malam ketika kami berbincang.
"Oh begitu lalu bagaimana jawaban Ibumu?" Tanyaku penasaran.
"Ibu menjawab bahwa Ibu tidak layak menerima cinta Om Alan. Karena ada wanita lain yang cintanya lebih luhur dan tulus, begitu kata Ibu."
Mendengar cerita itu aku hanya terdiam. Rupanya Kinanti tetap sangat menghormati Daisy Listya.
Padahal Listya sendiri rela jika aku menjadi suami Kinanti. Oh Tuhan harus bagaimana aku menghadapi dua wanita luhur budi ini.