"Oh ya bagaimana Ibu, baik-baik? Persiapan pernikahannya lancar-lancar saja?"
Aku memang sengaja bertemu Intan hanya ingin mencari kabar tentang Kinanti, Ibunya. Sambil berharap semua rencana pernikahannya berjalan lancar.
"Iya Om mudah-mudahan lancar. Sedang mencetak Undangan tapi belum selesai." Jawan gadis yang memancarkan pesona luar biasa ini. "Tapi Om Alan, "lanju Intan. "Akhir-akhir ini Ibu sering murung. Aku tidak berani bertanya," suara Intan pelan.
"Mungkin bukan murung. Ibumu sedang fokus memikirkan acara pernikahan itu," kataku mencoba menetralkan anggapan Intan.
"Om, pernah suatu hari Ibu bertanya padaku. Apakah Ibu pantas menerima cinta Om Alan. Lalu aku menjawab tentu saja Bu. Namun aku jadi heran yang terjadi Ibu malah menerima lamarannya Om Eko," kata Intan lagi.
Mendengar ini aku terdiam. Aku yakin Kinanti memang mencintaiku apalagi jika membaca untaian kalimat di ponsel itu isinya sudah bernada mengutarakan cintanya.
Memang kadang-kadang wanita itu sulit diduga. Begitu sulit diduga, walau hanya sekedar ingin tahu bagaimana perasaan hatinya sedang sedih ataukah gembira. Apalagi menduga perasaan cintanya.
"Hei Om Alan, kok melamun?" Suara Intan mengagetkanku. Aku hanya tersenyum.
"Oh ya Om, apakah Ibu tahu sekarang Om Alan sedang ada di Bandung?"
"Tidak Intan. Ibumu tidak tahu. Sengaja tidak memberitahu Ibu. Takut mengganggu kesibukannya," jelasku. Intan hanya mengangguk tanda setuju.
Dialog kecil di sebuah Kantin Kampus itu bagiku sangat berarti. Banyak informasi tentang Kinanti yang aku dapat dari Intan.