"Hai Profesor Alan!" Aku menoleh ke arah suara merdu memanggil namaku.
"Hai Lin!" Aku sungguh terkejut melihat kehadiran Audray Lin.
Dia adalah salah satu mahasiswi bimbinganku yang meraih prestasi tinggi dalam studi Ilmu Farmasi.
BACA JUGA: Pesona Puspita Hatiku
Gadis oriental yang cerdas. Perawakannya tinggi semampai dengan rambut lurus sebahu.
Aku memanggil Audray Lin dengan panggilan akrab Lin. Dalam Bahasa Mandarin Lin itu artinya Batu Giok yang indah.
Audray Lin sudah dua tahun yang lalu lulus dalam program S1 Farmasi. Selama dua tahun itu pula aku tidak bertemu dengannya.
"Lama Kita tidak jumpa Pak Alan."
"Iya sudah lama mungkin dua tahun."
"Ya mungkin. Tapi Pak Alan tetap tidak berubah. Masih tetep ganteng." Kata Audray Lin sambil ketawa manja sambil menatapku.
"Kamu ada urusan apa ke Kampus?" Tanyaku.
"Oh iya aku mau melengkapi persyaratan administrasi untuk mengikuti program profesi Apoteker."
"Wah bagus rupanya kamu baru terpikir ikut program profesi ya."
"Iya Pak. Oh ya Pak Alan masih tinggal di Menanggal?"
"Iya. Kamu mau main ke rumah?" Tanyaku, sebenarnya bermaksud bercanda tapi ternyata Audray menjawab "ya" dengan antusias.
Gadis ini selama menjadi bimbinganku pada program S1 dulu, memang memiliki obsesi mendekatiku.
Audray tahu kalau aku masih sendiri. Tapi hebatnya dia pandai menempatkan urusan pribadi dengan urusan akademik.
Sehabis makan malam itu aku biasa duduk di teras depan sambil menikmati semilir angin malam.
Tiba-tiba saja sebuah mobil Honda Jazz berwarna biru berhenti di depan rumah. Aku mengenal mobil itu milik Audray Lin.
"Selamat malam pak Profesor?" Sapa Audray. Aku membalas sapaannya dan mempersilakan duduk.
Gadis cantik berwajah oriental ini selalu berpakaian seksi seolah ingin memamerkan kemolekan tubuhnya.
Aku bersyukur saat ini tidak memiliki lagi jiwa petualanganku seperti zaman SMA dulu. Jika aku ketemu Audray semasa SMA dulu, maka entah sudah diapakan gadis ini. Astagfirullah.
Audray Lin memang cantik dengan fisik yang sangat menawan. Bagi lelaki manapun pasti mengandung magnet yang kuat.
Apalagi gadis ini pandai memilih pakaian seolah tahu di mana kemolekan tubuh yang dimlikinya. Sebagai lelaki normal, aku suka dengan fisik Audray.
Namun Aku harus bersyukur karena Alan Erlangga yang sekarang adalah lelaki yang mempunyai sistem nilai yang berbeda dengan Alan Erlangga pada zaman SMA dulu.
Kami duduk di Teras depan rumah sambil mencicipi makanan ringan dan segelas orange dingin.
Malam itu kami berbincang tentang dunia apoteker. Ternyata Audray Lin mengambil program Apoteker tersebut untuk memenuhi keinginan Tantenya yang memiliki sebuah Apotek.
"Wah bagus Lin. Saya baru tahu Tantemu mempunyai Apotek. Saya dukung rencanamu mengambil program Apoteker!"
"Terimakasih Pak Profesor."
"Berarti setelah menjadi Apoteker, Audray tinggal di Surabaya dong lalu nanti bagaimana cowoknya yang di Jakarta?" Tanyaku menggoda.
"Biarlah aku tinggalkan cowok yang di Jakarta. Aku suka dengan cowok yang di Surabaya." kata Audray sambil tertawa renyah. Audray adalah gambaran gadis masa kini yang terbuka dan sedikit agresif.
"Minggu depan aku kembali dulu ke Jakarta. Program Apoteker baru dibuka pada bulan Mei. Pak Alan memberi kuliah pada program Apoteker?" Tanya Audray.
 "Ya! Saya memberi kuliah pada semester tahun pertama," jawabku.
Tiba-tiba saja ponselku berdering, aku melihat panggilan Kinanti. Aku minta izin Audray untuk menerima telpon. Sekitar lima menit Kinanti menelpon hanya sekedar menanyakan kabarku.
"Pasti tadi telpon dari calon istri ya Pak?" Tanya Audray penasaran.
"Rahasia dong kamu gak boleh tahu," Kataku bercanda.
"Ngaku saja Pak. Pasti calon Istri. Masa Profesor mau jomblo terus," kata Audray masih juga penasaran. Kembali aku tertawa dan ini telah membuat Audray merasa kesal.
"Benar Lin. Tadi itu dari calon istriku. Namanya Kinanti Puspitasari," kataku sekenanya. Maksudku hanya bercanda tapi setelah sadar aku kaget juga.
"Gadis mana Pak? Mahasiswi Farmasi? Namanya cantik sekali," pertanyaan beruntun Audray kembali membuat aku tersenyum.
"Ya Kinanti bukan mahasiswa Farmasi disini, tapi Dosen Farmasi di Bandung. Â Dia dulu adalah teman SMA. Kinanti namanya cantik, tentu dong orangnya juga cantik," kataku.
Audray terdiam membisu beberapa saat. Sekilas ada rasa kecewa di raut wajah cantik berkulit kuning langsat ini.
"Apakah aku sudah kehilangan harapan?" Kata Audray seolah-olah bertanya kepada diri sendiri.
"Harapan apa Lin?"
"Dari dulu aku pengagum Prof Alan. Bapak juga tahu? Kalau sudah ada Kinanti di hati Bapak berarti aku kehilangan harapan dong," kata Audray.
Gadis ini sejenak termenung dan aku hanya bisa memandang wajahnya yang tenang.
"Tapi Pak Alan. Dalam hidup ini kita tidak boleh kehilangan harapan. Jika kita tidak punya harapan lebih baik mati saja. Ayo Audray tetap semangat harapan masih tetap ada karena kamu masih ingin hidup," suara Audray memberi semangat untuk dirinya sendiri.
Mendengar ini aku tertegun juga terutama kata-kata Audray bahwa kita tidak boleh kehilangan harapan apalagi tidak punya harapan lebih baik mati saja.
Setelah itu gadis ini mulai mengerti. Aku semakin kagum karena tidak sedikitpun ada perubahan sikap dari Audray.
Salah satu sifat yang aku sukai adalah orang yang punya pendirian seperti Audray ini.
Bahkan ketika dia pamit masih sempat dia bercanda bahwa dia siap bersaing dengan Kinanti Puspitasari.
Bukan main. Ini benar-benar bisa membuat aku besar kepala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H