Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pesona Puspita Hatiku

11 September 2020   16:21 Diperbarui: 11 September 2020   17:44 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dok. Hensa

Jika Daisy Listya adalah sosok utuh Diana Faria maka Kinanti Puspitasari adalah sosok lain dari masa lalu di sudut hatiku. Kemanakah hatiku berlabuh? 

Hari Jumat pagi ruang kerjaku kedatangan tamu istimewa dari Bandung yaitu Kinanti Puspitasari. Kami berbincang sesekali diselingi gelak tawa riang.

BACA JUGA : Cerita di Beranda Rumah Kinanti Puspitasari

"Alan mana Listya katanya mau ketemu kita disini?" Tanya Kinanti.

"Ini pesannya di ponsel, dia masih di perjalanan menuju Kampus!" kataku.

"Aku sudah kangen rasanya sudah tidak sabar lagi ingin ketemu wanita pujaanmu itu," kata Kinanti sambil tersenyum.

"Awas ya Kinan nanti jangan ngomong macam macam di depan Listya," kataku mengingatkan Kinanti agar tidak sampai keceplosan. Mendengar ucapanku itu Kinanti hanya tertawa. 

"Tenang tenang. Wah kok Profesor bisa gugup seperti itu. Aku tidak bilang apapun. Jangan khawatir," kata Kinanti sambil tertawa.

Aku benar-benar mati kutu dan hanya bisa garuk garuk kepala. Ketika kujelaskan kepada Kinanti selama ini Listya menganggap bahwa Kinanti adalah calon istriku maka tawa Kinanti semakin menjadi jadi.

"Alan aku sekarang semakin yakin kalau Listya sungguh mencintaimu," kata Kinanti serius.

"Untuk sementara lupakan dulu saja hal itu. Sekarang Listya sedang dirundung sedih suaminya mengalami gagal ginjal yang sangat parah," kataku.

"Oh Tuhan aku ikut prihatin," suara Kinanti dengan nada sedih.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku bukakan pintu dan di sana berdiri bidadari cantik itu. Listya tersenyum dan aku terpana memandangnya dengan penuh kerinduan.

Bukan aku saja yang terpana tapi kulihat Kinantipun tertegun di tempat duduknya. Setelah sadar baru dia beranjak menghampiri Listya. Mereka berpelukan layaknya dua insan yang saling merindukan karena lama tidak berjumpa padahal ini adalah pertemuan kedua mereka. Sejak bertemu dihari pernikahan itu mereka tidak pernah bertemu.

"Bu Kinan rasanya seperti mimpi bisa bertemu ibu lagi karena selama ini kita hanya bertemu lewat telepon. Ibu baik-baik saja?" Tata Listya sambil memandang Kinanti.

"Ya Listya. Alhamdulillah. Aku juga kangen Listya habis selama ini cuma dengar suara merdumu lewat ponsel sekarang aku bisa bertemu langsung dengan orangnya. Tidak percuma jauh jauh dari Bandung bisa ketemu Listya yang cantik," kata Kinanti memuji. "Pujian hanya untuk Allah. Saya juga bersyukur bisa bertemu Bu Kinan yang tetap awet cantik," suara Listya balas memuji kecantikan Kinanti.

"Listya, pujian hanya untuk Allah," kata Kinanti. Mereka tertawa ditengah dialog-dialog kecil itu. Aku benar-benar menikmati dua mahluk Allah yang mempesona ini. 

Kinanti masih tetap cantik dengan tutur kata yang lembut dan Listya disaat tersenyum itu rasanya ada kedamaian yang singgah di hati.

Mereka berbincang akrab seperti teman yang sudah kenal lama. Usia yang terpaut jauh tidak menjadi penghalang keakraban mereka.

Aneh juga mengapa Listya dan Kinanti bisa seakrab ini padahal sebelum ini hanya pernah bertemu sekali di hari pernikahan Listya dulu.

Mereka mungkin memiliki chemistry yang identik atau ada faktor lain. Namun jangan-jangan faktor itu adalah aku. Jangan ah nanti malah aku tambah bingung.

"Ibu-ibu silahkan bercengkrama sementara saya pamit dulu karena harus mengisi jadwal kuliah," kataku berpamitan kepada mereka.

"Baik Profesor, aku akan melepaskan rindu dendam ini kepada Listya," kata Kinanti berseloroh. Mereka kembali tertawa riang.

Aku meninggalkan Kinanti dan Listya dan bergegas menuju Ruang Kuliah Mahasiswa semester Lima.

Selama memberikan kuliah rasanya aku kurang konsentrasi pikiranku selalu tertuju ke ruang kerjaku. 

Kinanti Puspitasari dan Daisy Listya adalah dua wanita penuh pesona, penuh dengan kelembutan, keramahan, keanggunan dan kepribadian yang kuat. Dua wanita ini memang layak mendapatkan predikat pujaan hati kaum lelaki.

Aku sudah tidak sabar ingin segera menyelesaikan presentasi kuliah di kelas ini. Aku sungguh penasaran yang sedang mereka bicarakan berdua di ruanganku.

Teringat kata-kata Kinanti bahwa sebenarnya Listya mencintaiku. Kinanti sebagai seorang wanita bisa merasakan getaran batin seorang Listya. Ah benarkah itu?

Andai benar Listya mencintaiku apakah mungkin itu bisa terjadi sedangkan Listya sudah menjadi istri Rizal Anugerah.

Selama memberikan kuliah di kelas itu konsentrasiku memang sedang tidak fokus namun demikian akhirnya presentasiku selesai juga.

"Untuk hari ini cukup dan pada pertemuan berikutnya kita akan buka sesi diskusi. Kalian bisa siapkan bahan untuk diskusi sebanyak mungkin. Sampai pekan depan." Kataku menutup sesi kuliah.

Aku sengaja tidak menggunakan waktu diskusi untuk mahasiswa karena ingin cepat kembali ke ruang kerjaku menemui Kinanti dan Listya.

Aku melangkah gontai menuju ruang kerjaku. Aku ketuk pintu sambil mengucapkan salam.

Ruangan itu kok suasananya sepi. Ketika aku memasuki ruang kerjaku aku melihat Listya seperti baru menangis. Kulihat titik air mata itu masih tersisa di kelopak matanya yang indah itu.

"Kinan ada apa dengan Listya?" Tanyaku terheran heran.

Kinanti hanya terdiam tidak menjawab pertanyaanku. Malah Listya yang menjawab sambil tersenyum agak dipaksakan.

"Tidak apa-apa kok pak Alan. Maaf mungkin sebaiknya saya pamit dulu Bu Kinan. Oh ya ibu besok pulang kembali ke Bandung dapat penerbangan jam berapa?" Tanya Listya.

"Besok penerbangan pukul 19.00 dari Juanda," kata Kinanti.

"Insya Allah besok, saya masih ingin bertemu Bu Kinan." Listya kemudian bergegas meninggalkan kami di ruangan itu.

Aku dan Kinanti masih terdiam sepeninggalnya Listya. Hanya beberapa saat saja kemudian Kinanti membuka pembicaraan.

"Listya sudah menceritakan semuanya. Cerita yang sangat memilukan," kata Kinanti.

"Apa maksudmu Kinan?" Tanyaku terheran heran dan penasaran.

"Kau pasti tidak akan menyangka ternyata Listya tidak bahagia selama ini. Banyak peristiwa menyakitkan hati wanita cantik ini." Aku masih tertegun mendengar arah pembicaraan Kinanti.

"Perlakuan suaminya yang arogan, egois dan kasar menambah kelengkapan penderitaan Listya."

"Maksudmu apa ini?"

"Aku seakan tidak percaya bahwa Listya yang lembut bersuami seorang yang kasar terhadap istrinya. Alan kau tadi sudah melihat air mata yang menetes di pipinya adalah air mata ketabahan dan kesabaran seorang istri yang tetap ingin menjaga jati dirinya." Suara Kinanti perlahan namun seakan memecah kebisuan ruangan itu.

Aku masih terdiam dan tidak mampu berkata sepatah katapun seakan lidahku terkunci dan bibirku bisu.

"Alan! Ketika Listya bercerita padaku tentang semua yang dialaminya seakan dia bercerita di depan orang yang sudah lama dikenalnya." Kata Kinanti melanjutkan ceritanya.

"Aku sendiri heran serasa aku sudah begitu lama mengenal Listya sehingga kami berbincang begitu akrab." Tambah Kinanti.

"Ada yang menarik ketika Listya berkata padaku bahwa aku adalah wanita yang beruntung karena telah mendapatkanmu sebagai teman hidup." Kata Kinanti sambil menatapku.

"Kau tahu itu apa artinya?" Tanya Kinanti masih menatapku tajam.

Aku tetap hanya mampu diam membisu tak bisa berkata sepatah katapun.

"Aku yakin Listya mencintaimu," kata Kinanti.

"Kinan kenapa kamu begitu yakin?"

"Aku bisa merasakannya sebagai seorang wanita. Listya merasa mendapatkan perlindungan ketika berada didekatmu." Kata Kinanti.

"Mendapatkan kenyamanan, kegembiraan, kedamaian hati. Listya merasakan perhatianmu terlepas dari statusmu sebagai dosen pembimbing mahasiswinya," suara Kinanti meyakinkan.

"Ya Kinan tapi itu kan analisamu. Listya sendiri tidak berkata seperti itu." Kataku membantah. Kinanti hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.

Sebenarnya aku merasakan kegembiraan mendengar yang dikatakan Kinanti, namun aku juga merasakan kegundahan. Sebab jika hal itu benar, maka bisa menjadi masalah yang sangat rumit.

"Andai saja Listya tahu bahwa Alan Erlangga sangat mencintainya." Kembali terdengar suara Kinanti sambil menatapku tegas. 

 "Andai Listya tahu, terus?" Tanyaku.

"Ya Listya tidak menikah dengan Rizal Anugerah tapi mungkin dengan Alan Erlangga," kata Kinanti.

Mendengar kalimat terakhir Kinanti itu, aku tertawa tapi rasanya tawaku sangat sumbang mengandung kepedihan.

Sungguh tidak bisa dipercaya seorang istri seperti Listya yang lembut, ramah penuh kesetiaan dan pengabdian kepada suami harus mengalami kekerasan dalam rumah tangganya.

Sulit dimengerti perlakuan Rizal, suami Listya terhadap istrinya. Aku tidak tahu yang harus kulakukan jika suatu hari Listya harus curhat kepadaku tentang masalah rumah tangganya.

Namun aku yakin Listya tidak mungkin menceritakan tentang masalah rumah tangganya kepadaku. Listya adalah wanita yang penuh amanah apalagi ini aib suaminya sendiri.

Rasa rinduku kepada Listya memang aneh. Listya adalah istri Rizal mengapa aku harus merindukannya.

Mengapa aku selalu mengharapkannya. Mengapa setiap berada dekat dengannya aku merasakan kedamaian dan kebahagiaan.

Mengapa setiap saat aku selalu memikirkannya. Anehnya semakin lama semakin kutemukan realita dalam dirinya tentang Diana Faria.

Ya realita bahwa Diana Faria adalah masa lalu yang harus kurelakan. Lalu bagaimana tentang Daisy Listya? Apakah juga sudah merupakan realita masa lalu yang harus aku relakan?

Nah justru yang ini anehnya aku belum mau menerima realita itu. Aku seperti masih memiliki keyakinan tentang sebuah harapan.

Bukankah hidup ini juga adalah harapan. Aku yakin Allah selalu mewujudkan setiap harapan hambaNya.

Aku sangat menginginkan realita yang lain tentang Daisy Listya. Realita yang lain? Realita yang mana?

Alan Erlangga sebaiknya kamu tidak usah bermimpi. Daisy Listya adalah istri Rizal Anugerah. Realita yang lain realita yang mana yang kau inginkan wahai Alan Erlangga. 

Sementara itu Kinanti Puspitasari tiba-tiba sekarang harus hadir lagi ditengah-tengah kegalauan hatiku, keresahan hatiku, kegundahan hatiku.

Jika Daisy Listya adalah sosok utuh Diana Faria maka Kinanti Puspitasari adalah sosok lain dari masa lalu di sudut hatiku.

Kemanakah hatiku berlabuh?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun