Teringat kamu saat aku duduk di sini. Sudah berapa kali kita selalu bertemu di Ruang Tunggu Stasiun Kereta Api ini, sehabis mudik berlebaran di Kampung.
Selalu di bangku Ruang Tunggu yang sama ini pula kita berbincang, tentang masa-masa pensiun yang harus kita lalui.
"Usia pensiun limapuluh enam masih terlalu muda," begitu katamu sambil menikmati roti bakar khas Stasiun.
Akupun setuju sebab masih ada dua puluh tahun ke depan atau bahkan lebih, sebelum usia kita delapan puluh.
"Lalu apa yang harus kita lakukan dua puluh tahun ke depan?"
"Banyak," katamu. "Mengurus cucu, menjaganya dan memberikan bekal untuknya."
"Menunggui dan menyaksikan cucu kita saat mereka menikah." Aku menambahkan.
"Ya jika saat ini cucu kita berusia satu tahun maka dua puluh tahun kemudian dia berusia dua puluh satu tahun. Mereka sudah sangat matang untuk menikah."
"Lalu apa lagi?" Tanyaku.
"Memperbaiki diri dengan menabung kebaikan untuk bekal kita sendiri," katamu.
"Aku baru ingat betapa banyak yang harus kubenahi," kataku.
"Ah masih ada dua puluh tahun lagi," katamu sambil tertawa.
Aku melihat tawamu sumbang. Dua puluh tahun ke depan kita sedang ada di mana? Membayangkan saja tak mampu apalagi mencoba menebaknya.Â
"Aku bercanda tadi. Jangan tunggu dua puluh tahun ke depan. Esokpun jangan kamu tunda untuk berbuat baik." Katamu dengan wajah serius.Â
Kali ini aku yang tidak bisa menahan tawa.Â
"Ada yang lucu?" Kamu melongo memandangku. Aku menghentikan tawaku sambil mengangkat bahu. Wajahmu kembali menunjukkan kedamaian.
"Lucu saja ada dua orang Lansia bicara dua puluh tahun ke depan."
"Kamu jangan remehkan visi sebuah pemikiran. Ajal boleh datang besok hari. Tapi pikiran kita akan tetap hidup." Katamu tegas.Â
Jujur aku harus tertegun dengan kata-katamu yang terakhir ini. Rasanya kecerdasanku langsung tumbang dengan kalimat menohok kamu itu. Â
Tidak terasa sebentar lagi Kereta Api akan segera berangkat dan kau bergegas berpamitan kepadaku. Kita saling berpelukan dan kamu berjalan lurus tanpa berpaling lagi. Aku hanya mampu memandang punggung masa lalumu.Â
Aku selalu teringat kamu, sahabat terbaikku di Stasiun Kereta Api ini. Aku harus banyak belajar darimu. Belajar menyikapi hidup ini.
Saat ini aku masih duduk di sini, di bangku tempat kita berbincang dulu. Mengenang semua peristiwa yang sempat kita lalui bersama. Ternyata Tuhan itu sangat dekat dengan kita.
Aku tidak menyangka jika saat itu kamu berpamitan untuk yang terakhir kali. Aku ingin belajar menjadi dirimu.Â
@hensa. Teriring doa kepada sahabat terbaikku di Alam Barzah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H