"Aku baru ingat betapa banyak yang harus kubenahi," kataku.
"Ah masih ada dua puluh tahun lagi," katamu sambil tertawa.
Aku melihat tawamu sumbang. Dua puluh tahun ke depan kita sedang ada di mana? Membayangkan saja tak mampu apalagi mencoba menebaknya.Â
"Aku bercanda tadi. Jangan tunggu dua puluh tahun ke depan. Esokpun jangan kamu tunda untuk berbuat baik." Katamu dengan wajah serius.Â
Kali ini aku yang tidak bisa menahan tawa.Â
"Ada yang lucu?" Kamu melongo memandangku. Aku menghentikan tawaku sambil mengangkat bahu. Wajahmu kembali menunjukkan kedamaian.
"Lucu saja ada dua orang Lansia bicara dua puluh tahun ke depan."
"Kamu jangan remehkan visi sebuah pemikiran. Ajal boleh datang besok hari. Tapi pikiran kita akan tetap hidup." Katamu tegas.Â
Jujur aku harus tertegun dengan kata-katamu yang terakhir ini. Rasanya kecerdasanku langsung tumbang dengan kalimat menohok kamu itu. Â
Tidak terasa sebentar lagi Kereta Api akan segera berangkat dan kau bergegas berpamitan kepadaku. Kita saling berpelukan dan kamu berjalan lurus tanpa berpaling lagi. Aku hanya mampu memandang punggung masa lalumu.Â
Aku selalu teringat kamu, sahabat terbaikku di Stasiun Kereta Api ini. Aku harus banyak belajar darimu. Belajar menyikapi hidup ini.