Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dialog Singkat di Ruang Rawat

11 Juni 2020   16:23 Diperbarui: 11 Juni 2020   19:36 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lansia (Foto Shutterstock) 

Kecantikan gadis-gadis Kawanua. Kulit putih berwajah oval, hidung bangir, mata indah dengan sorot tajam. Bibirnya ah pasti memiliki senyum menawan dan tutur sapa yang ramah.

Dua bulan yang lalu, sejak putusnya pertunanganku dengan Helena, aku kini jadi lebih fokus menjalani tugas suci di RS Darurat sekitar kawasan Kemayoran itu. 

Tugas yang memiliki risiko tinggi karena harus menangani pandemi virus yang sangat mematikan. Namun sebagai dokter ahli paru harus profesional dan menjunjung tinggi sumpah pengabdian.

Rasa pedih di hati akibat kegagalanku membangun mahligai rumah tangga dengan Helena seakan terhibur dengan tugas kemanusiaan ini. 

Apakah ini pelarian atau bukan, aku tidak peduli karena aku sangat "enjoy" menjalani tugas mulia ini. 

Pagi ini rutinitasku sebagai dokter ahli paru melakukan visite ke ruang rawat pasien coronavirus. Banyak pasien yang sudah sembuh tapi ada juga yang tidak tertolong. 

Diantara mereka yang meninggal dunia sebagian besar adalah pasien yang sudah berusia lanjut. Juga kebanyakan dari mereka sudah memiliki penyakit bawaan sebelum terinfeksi virus jahat ini.

"Selamat pagi dokter !" Suara Opa Rudy menyambut salamku diiringi senyumnya yang ramah dan tulus. 

"Opa bagaimana tidurnya nyenyak tadi malam?"

"Nyenyak. Saya sekarang sudah kembali bisa tidur tidak terlalu malam." 

"Syukurlah. Opa sekarang sudah kelihatan segar cerah." Kataku memuji kemajuan yang sudah dicapai oleh Opa Rudy. 

Orang tua berusia 85 tahun ini memiliki semangat luar biasa untuk sembuh. Sejak dua pekan lalu dirawat di RS Darurat ini,semua prosedur dijalani dengan baik sesuai protokol kesehatan WHO.

Padahal Opa Rudy memiliki penyakit bawaan yaitu diabetes dan hipertensi. Ini sangat memperbesar risiko dirinya.

Pada hari pertama Opa Rudy masuk RS Darurat ini, dia sdh langsung dibantu piranti ventilator. Ini bukti kondisinya sangat parah. 

Kabar terbaru dari Tim peneliti yang dipimpin Profesor Fei Li dan Ling Tao dari Rumah Sakit Xijing. Menemukan fakta bahwa pasien Covid-19 dengan tekanan darah tinggi dua kali lipat lebih berisiko meninggal dibanding orang yang tanpa hipertensi. Hal ini yang mengkhawatirkan untuk Opa Rudy. 

Selain itu, studi tersebut juga menemukan bahwa pasien hipertensi yang tidak minum obat untuk mengendalikan kondisinya, juga akan memiliki risiko kematian lebih besar akibat infeksi virus corona.

Begitu rentannya Opa Rudy terhadap risiko dirinya akibat terinfeksi corona virus ini. Tapi semangatnya luar biasa sehingga Opa Rudy sudah berangsur pulih.

Opa Rudy mengingatkanku kepada almarhum Kakek. Beliau saat ini jika masih ada usianya sama dengan Opa Rudy. 

Setiap aku mengunjungi Opa Rudy maka selalu aku teringat Kakek. Semangat dan kesungguhannya untuk sembuh persis seperti Kakek berperang melawan kanker paru yang menggerogotinya. 

Hingga saat ini ada satu pesan Kakek yang selalu teringat. Aku sebagai seorang dokter spesialis paru harus mampu menolong setiap pasien hingga sembuh. 

Ini yang membuat aku bersemangat menangani Opa Rudy agar sembuh dari transmisi virus mematikan ini. 

Satu lagi yang ditunggu kakek  adalah pernikahanku dengan Helena yang ternyata harus kandas di tengah jalan. 

Untuk ini aku merasakan kegagalanku mewujudkan keinginan Kakek karena hingga Kakek meninggal aku gagal menikah dengan Helena. 

Setahun lalu Kakek meninggal akibat kanker paru. Sebagai perokok berat, Kakek sangat tergantung dan tidak bisa menghentikan ketergantungan  merokoknya. Ini penyebab kanker paru di hari tua beliau merengut jiwanya.  

"Iya dokter. Dulu saya juga perokok. Tapi berhenti walaupun harus berjuang keras." Kata Opa Rudy bercerita. 

"Kapan  Opa berhenti merokok?"

"Waktu tahun pertama nenjalani pensiun."

"Tidak mudah lho berhenti dari kebiasaan merokok. Kok Opa bisa?"

"Semua ini berkat cucu saya, Kirana. Selalu memberi  semangat agar berhenti merokok." 

Opa Rudy terlihat berbinar menceritakan kasih sayang cucunya, Kirana Anastasia. Opa Rudy hanya memiliki seorang cucu dari seorang anak satu-satunya yang berkeluarga. 

Ana demikian panggilan akrabnya masih kuliah pasca sarjana di sebuah universitas di Beijing, Tiongkok. Sudah 3 bulan ini ia berlibur dan saat ini belum bisa kembali ke Negeri Tirai Bambu sejak pandemi ini mulai mewabah luas. 

"Saya bersyukur selama ini ditemani Kirana selama dia berlibur di sini. Sampai akhirnya harus masuk Rumah Sakit ini dirawat oleh dokter." Opa Rudy menjelaskan bagaimana dia sangat dekat dengan cucunya. 

Loby RS Darurat pagi itu masih sepi. Sebelum menuju ruang kerjaku, aku melihat Opa Rudy bersama seorang gadis. Bisa kutebak pasti dia adalah Kirana Anastasia. 

Dari jauh aku perhatikan cucu Opa Rudy ini cantik juga. Kecantikan gadis-gadis Kawanua. Kulit putih berwajah oval, hidung bangir, mata indah dengan sorot tajam. Bibirnya ah pasti memiliki senyum menawan dan tutur sapa yang ramah. 

"Opa !" Aku menyapa Opa Rudy. 

"Hai Dokter! Oh iya ini Ana." Opa Rudy mengenalkan cucunya. Aku mengangguk sambil tersenyum dibalas pula dengan senyum manis Kirana. 

"Hari ini Opa sudah boleh pulang. Saya turut senang."

"Iya dokter terimakasih atas semua bantuannya selama saya dirawat."

"Ah Opa. Itu sudah kewajiban saya."

"Dokter, boleh saya minta nomor ponselnya. Siapa tahu saya perlu konsultasi."

"Baik Opa. Ini dicatat saja." Kataku sambil mengeja angka sesuai dengan nomor ponselku. 

Selama dialog di Loby itu, Karina hanya menyimak dengan sesekali tersenyum padaku. 

Ada rasa damai dengan senyum yang terukir di bibirnya. Dan senyum Ana itu kembali kunikmati pada saat mereka berpamitan menuju parkiran mobil. 

Sejak pertemuan itu, sudah 10 hari ini aku setiap melewati loby jadi teringat Kirana. Cucu Opa Rudy ini telah membuat diriku kembali mengenal rasa rindu. 

Seperti pagi ini aku sempat tertegun sejenak di loby itu. Seperti melihat sosok gadis Kawanua itu, Kirana Anastasia. 

Tetiba ponselku berbunyi membuyarkan lamunanku. Di layar ponsel tertera Opa Rudy memanggil. 

"Hallo Opa!"

"Dokter. Ini Ana, bukan Opa!" Suara Kirana terdengar sedih. 

"Iya Ana. Apa yang terjadi?" Aku mulai khawatir. 

"Opa. Opa telah meninggal.." Suara Kirana diantara tangisnya penuh kesedihan.

Kirana sempat bercerita tentang serangan jantung Opa Rudy di pagi hari itu. 

Saat itu juga segera bergegas aku menuju rumah duka. Menemui keluarga Opa Rudy yang sudah berkumpul. 

Kirana melihat aku datang, dia langsung berlari memelukku sambil menangis. Gadis ini memelukku erat sekali seolah tidak mau melepaskannya. Wajah cantiknya dibenamkannya di dadaku. Aku hanya tertegun membisu. Tidak bisa berkata sepatah katapun. 

Opa Rudy telah tiada meninggalkan seorang Kirana Anastasia. Benarkah ini jodohku? Mohon doanya..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun