Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dzikir Fitrah Dua Hati

15 Agustus 2019   15:29 Diperbarui: 15 Agustus 2019   15:51 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandara Soetta Terminal 3 (Foto Twipu.com) 

"Mungkin cara terbaik adalah hanya dengan berserah diri kepadaNya akhirnya akan kutemukan siapa diriku. Aku adalah kefanaan yang dengan pasti berasal dari ketiadaan. Sedangkan Allah adalah sejati sejatinya Kekekalan."

Hari-hari nampak seperti merayap namun pasti akan lewat begitu cepat. Bagaimana mungkin aku menyia-nyiakan saat saat penting terlewatkan begitu saja. Semua hari begitu berarti dalam hidupku.

Semua hari memiliki asa, harapan dan sebaik-baik harapan adalah Ridho Allah. Setiap hari yang terlewati adalah berkurangnya kehidupan dan semakin dekatnya hari kematian. Benar orang-orang Bijak selalu berkata bahwa dalam hidup ini tidak ada yang pasti. Dalam hidup ini yang pasti hanyalah hari datangnya kematian.

"Hensa. Woi Hensa!" terdengar suara Alan membangunkanku dari renungan yang dalam itu.

"Kamu pasti sedang rindu sama Aini ya!" kembali suara Alan. Aku menatap sobat kentalku. Jujur aku memang sedang rindu sekali kepada Aini.

"Ya sebulan sudah dia pergi. Sejak telpon terakhir minggu lalu, Aini belum menghubungiku lagi. Emailku yang kemarin saja belum dibalasnya," kataku datar.   

"Mungkin dia sibuk. Katamu dia sedang intensif bahasa Inggris."

"Iya tiga bulan ini sebelum memulai kuliah semester pertama"

"Okey Bro kini saatnya kita pulang!" Ajak Alan Erlangga.

"Al sorry. Aku masih ada kelas Kimia Organik satu jam lagi. Kamu pulang duluan saja!"

"Yoi Bro aku duluan ya. Assalaamu alaikum!" kata Alan sambil bergegas meninggalkanku.

Baca Juga : Episode Akhir Cintaku

Sebulan tidak mendapat kabar Aini rasanya seperti penderitaan dirundung rindu. Aku kembali teringat waktu di Bandara itu air mata Aini mengalir deras di pipinya menandakan larut dalam kesedihan. Lalu apakah senyum manis dalam urai air mata di pipinya saat itu adalah arti yang dalam dari sebuh cinta?  

Lalu ketika aku menerima telepon pertamanya, Aini seperti menumpahkan air bah kerinduannya padaku. Benarkah begitu? Namun anehnya aku selalu ragu merasakan perasaan gadis itu padaku. Aku kadang merasa bebal dengan diriku sendiri. Benar apa yang dikatakan sahabatku, Alan Erlangga bahwa aku ini manusia polos yang punya penyakit pengecut tidak percaya diri, selalu ragu dengan kemampuan diri sendiri. Begini akibatnya yang harus ditanggung sendiri.

Teringat ketika masih sama-sama mengerjakan penelitian skripsi di laboratorium, Aini sering mencurahkan isi hatinya tentang Iqbal calon suaminya yang meninggal karena bencana badai diperairan Flores.

"Hensa. Saat ini aku sedang mencoba untuk menerima kenyataan takdirku," kata Aini penuh keyakinan. Gadis itu berkata dengan mata berkaca-kaca. Saat itu aku hanya terdiam membisu. Aku pikir Aini memang sudah menemukan ketegaran menerima takdirNya.

"Hensa mungkin Mas Iqbal bukan jodohku di dunia ini. Aku jadi teringat Erika yang ternyata juga bukan jodohmu," kata Aini menyinggung tentang Erika, sahabatnya. Saat itu sempat juga Aini memberikan analogi tentang berakhirnya kisah cintaku dengan Erika Amelia Mawardini yang harus menerima pilihan orang tuanya. Itu kata Aini adalah Takdir. 

"Aini bukankah waktu itu kau pernah bicara tentang kenyataan takdir padaku?"

"Iya Hen ternyata kata-kata itu kini harus berlaku padaku. Aku harus berani menasehati diriku sendiri, " kembali suara Aini penuh haru.  Bagiku Erika dan Aini adalah kenyataan takdirku yang harus aku pahami. Hanya saja aku masih belum mendapatkan jawaban pasti benarkah Aini mau menerima cintaku?

"Hensa saatnya aku mengalami rasa kehilangan seperti saat kamu kehilangan Erika dulu. Inikah kenyataan takdir yang harus aku pahami?"

"Aini jujur saja aku sendiri mungkin masih belum mampu untuk memahami TakdirNya, " kataku pelan. Takdir tidak bisa secepat itu bisa dipahami namun tetap wajib diterima dengan rasa ikhlas.

"Sudahlah Hensa. Perlahan tapi pasti, hari demi hari kita semoga  bisa memahaminya dengan baik asal kita mau melihat ke depan." Suara Aini tegas dan kali ini ada seulas senyum kecil di bibirnya. Benar yang harus dihadapi adalah melihat ke depan.

Begitu sederhanakah untuk memahami kenyataan takdir? Ternyata tidak sesederhana itu ketika aku mulai menginjakkan kaki di atas tanah, didalam kehidupan yang nyata. Kadang aku kehilangan pijakan jati diri. Kadang aku harus mencari dimana diriku yang sebenarnya. Kadang revolusi dalam jiwa ini terus bergejolak dari detik ke detik berikutnya hanya untuk mencari jati diriku.

Mungkin cara terbaik adalah hanya dengan berserah diri kepadaNya akhirnya akan kutemukan siapa diriku. Aku adalah kefanaan yang dengan pasti berasal dari ketiadaan. Sedangkan Allah adalah sejati sejatinya Kekekalan.

Saatnya kini aku harus banyak merenungkan semua yang aku lakukan. Sudahkah ada dalam hati ini keikhlasan dalam setiap langkahku? Sudahkah bersih setiap ucapan dan tindakanku? Sudahkah banyak manfaat diriku bagi orang-orang di sekitarku? Sudahkah makna selalu ada dalam hari-hariku? Sudahkah?

Padahal hari ini aku menyadari apa yang aku tengok kebelakang adalah banyak hal yang tertunda aku raih. Banyak hal yang terlewati sia-sia. Banyak hal yang hilap aku ingat. Aku hanya berharap Allah mengampuniku pada saat yang akan datang dan saat-saat kemarin dan dulu.

Sudah berapa banyak hari-hari aku lewati tanpa Aini Mardiyah. Rasa rindu yang menyebabkan hari-hari begitu merayap. Jarum jam seperti berhenti berdetak bahkan seperti berputar kembali ke arah yang berlawanan.

Idul Fitri tahun ini adalah pertama kalinya Aini berlebaran jauh dari orang tuanya dan siang itu aku menerima telpon melalui ponsel dari Aini.

"Hen pada hari yang fitrah ini aku menyampaikan mohon maaf lahir batin," kata Aini terdengar suaranya lembut seperti yang aku kenal selama ini.

"Aku juga menyampaikan permohonan maafku lahir batin dan selamat berlebaran. Bagaimana suasana sholat Idul Fitri di Brisbane ?" tanyaku kepada Aini.

" Tadi pagi aku sholat Idul Fitri di Islamic Center Brisbane bersama kaum muslim dan muslimat di Australia. Bapak Duta Besar Indonesia hadir di tengah-tengah kami. Lebaran di sini rasanya sepi tidak seperti di tanah air. Aku hanya bisa menangis ketika Papa dan Mama menelponku. Aku merindukan mereka," suara Aini terharu di seberang lautan sana.

"Ya Ain bersyukurlah sebab kamu masih memiliki kedua orang tua lengkap. Aku juga di sini merasakan haru yang begitu dalam karena untuk pertama kali berlebaran tanpa Ayah. Ternyata kita sekarang ini harus pandai-pandai menjadi orang yang ikhlas," kataku perlahan.

"Betul katamu Hen. Aku selalu berharap agar kau tetap berdoa untukku. Sebenarnya aku ingin berkata lebih banyak  tapi nanti saja kutulis lewat email. Aku harus mengikuti kegiatan Kampus siang ini. Assalaamu'alaikum !" kata Aini menutup pembicaraan dengan salam.

Ramadhan itu bagiku benar-benar bulan yang sangat istimewa. Tepat hari pertama puasa aku menerima SK Pengangkatanku menjadi tenaga Dosen dalam Bidang Studi Kimia. Pada akhir bulan Ramadhan untuk pertama kali aku dapat memberi Ibuku gaji pertamaku. Hal itu adalah kebahagiaan yang tiada tara dan wajib aku syukuri sebagai nikmat dari Allah.

Hingga saat ini sudah dua kali Aini menelponku. Pertama kali Aini menelponku ketika ia sudah mulai mengikuti kuliah di Kampus. Aini waktu itu banyak bercerita tentang kampusnya yang baru. Memang lebih hebat lebih canggih dan luas tapi menurut Aini kampusnya di Bogor dulu jauh lebih romantis karena penuh kenangan indah. Kenangan Kampus di Bogor yang penuh romantika dengan kenangan indah adalah isyarat Aini yang membuat hatiku berbunga-bunga.

Aini sudah berkali-kali pula berkirim surat elektronik (E-mail) dan sebanyak itu pula aku membalas surat-surat Aini. Maka dalam beberapa bulan ini aku seakan tidak merasa jauh dengan Aini. Bahkan selama bulan Ramadhan yang lalu hampir setiap akhir pekan Aini selalu berkirim E-mail padaku.

Setiap haripun bait bait kalimat bermakna selalu saja membawa kenangan sekaligus harapan kebahagiaan. Aini Mardiyah selalu berada di dalamnya mengiringi hari-hariku.

Dalam diamku yang terkatup

dan tatapku yang tajam,

Katakan,

jiwaku melangkah masih tetap tegap, utuh

Biarkan semakin tulus senyumku,

semakin ikhlas hatiku

Semakin ramah dan lembut tutur kataku

Dalam diamku yang terkatup

dan tatapku yang tajam

Biarkan, dengan rakus detik-detikku,

melahap tarik nafasku

Biarkan, irama sumbang detak jantungku

makin lemah dan berhenti bernyanyi

Biarkan, senyum bibirku terkulum lega

saat kutinggalkan kefanaan

Akan kucabik pengoyak dunia

yang mencoba menyuap imanku di dada

Aku pengembara yang tak mau menunda

perjalanan menuju ridhoNya

(jikapun aku melepas dahaga

maka itu hanya karena,

aku sibuk berbenah kembali jati diri

agar tertata rapi)

Suatu hari seperti biasa,

aku sarapan pagi sepiring doa

(Tuhan ALLAH kepadaMu

hidup dan matiku).

Malam itu seperti biasa aku pulang dari Kampus sekitar pukul 7 malam. Aku  berharap ada email dari Aini. Biasanya setiap hari Jumat atau Sabtu Aini berkirm email padaku. Ternyata alhamdulillah di depan layar monitor hand phone pintar itu ada notifikasi email. Aku dengan asyiknya membaca kata demi kata dari email Aini.

Hensa! Kesibukkan kuliahku semakin padat. Minggu depan sudah ujian tengah semester. Aku harus mempersiapkan sebaik mungkin agar nilai-nilaiku cukup bagus. Seperti biasa aku selalu berharap kau mau berdoa untukku. Oh ya dua hari yang lalu aku terima email dari Erika. Dia bercerita padaku dua bulan yang lalu Erika  dikaruniai Allah bayi perempuan yang cantik. 

Aku juga bercerita padanya bahwa kau sekarang sudah jadi dosen. Erika senang sekali mendengar tentang beritamu. Dia juga pernah menanyakan padaku apakah Hensa sudah punya kekasih. Untuk pertanyaan yang satu ini aku tak berhak untuk menjawabnya maka sambil bergurau aku mengatakan kepada Erika :"Tanya aja langsung sama orangnya!"

Di setiap emailnya Erika selalu memberi kesan padaku bahwa nampaknya dia tidak merasakan kebahagiaan bersama suaminya. Dia mengakui suaminya sangat mencintainya, sabar penuh pengertian bahkan sangat memanjakannya. Tapi cinta tidak bisa dipaksakan, kata Erika padaku.

Sekarang ini setelah bayi cantik itu lahir dari rahimnya, Erika bertekad untuk mulai belajar mencintai suaminya. Dia harus berani menghadapi kenyataan. Hidup ini adalah masa depan bukan masa lalu, itu kata Erika. Dia memang tidak bisa melupakanmu tapi sekarang dia harus belajar mencintai suaminya tanpa harus melupakanmu. Begitu dia menulis email itu padaku.

Sengaja aku bercerita tentang Erika ini padamu Hen agar kamu juga bisa bersikap seperti Erika. Hidup ini adalah masa depan bukan masa lalu.

Oh Tuhan Alhamdulillah Engkau telah memberi jalan. Aku sudah membaca emailnya Aini. Hanya orang yang bodoh yang tidak mampu mengartikan email itu. Coba simak apa kata Aini dengan meminjam kata-kata Erika : "Hidup ini adalah masa depan bukan masa lalu."

Ini adalah sesuatu yang tersirat dari hati seorang gadis seperti Aini.  Kini aku tentu saja tidak mau lagi menjadi laki-laki bodoh. Aku sekarang yakin dengan perasaan Aini. Ya dia mencintaiku seperti halnya aku mencintainya. Lalu Erika? Jawabannya seperti yang dikatakan Erika sendiri. Hidup ini masa depan bukan masa lalu.

Maka selanjutnya aku membalas email ini dengan curahan perasaan yang seolah-olah tumpah bak air bah yang meluap karena bendungan yang membatasinya telah  jebol. Dalam email itu aku menulis:

Aini. Terima kasih e-mailmu. Aku sepulang dari Kampus langsung membuka e-mail dan membaca dengan seksama. Aku setuju bahwa hidup ini adalah masa depan bukan masa lalu.

Aku sudah ikhlas dari dulu terhadap Erika dan dia berhak melakukan apapun yang dia mau asal dia mendapatkan kebahagiaannya. Kelahiran bayi cantik itu rupanya kebahagiaan baginya juga bagi kita. Jika Erika bahagia maka  tentu kita juga bahagia karena kita berdua adalah orang-orang terdekatnya.

Ketika Erika bertanya kepadamu tentang aku sudah punya kekasih. Sebenarnya aku ingin memohon kau mau menolongku untuk menjawabnya. Ain mau bukan ? Aku yakin kau pasti tahu jawabannya. Jika kau tidak tahu coba tanyakan pada hati terdalammu.

Malam itu Aini rupanya langsung menjawab emailku :

Ya Hensa tadinya memang aku tidak tahu apakah Hensa Putrasoenaryo sudah punya kekasih? Setelah aku tanyakan kepada hati terdalamku maka aku berani menjawab dia sudah punya kekasih yang sangat mencintainya. 

Aku harus mengatakan kepada Erika agar dia juga merasa lega untuk mengarungi hidup ini adalah masa depan bukan masa lalu.

Sesungguhnya aku juga ingin bertanya kepadamu Hensa. Apakah Aini Mardiyah sudah punya kekasih? Tentu aku memohon padamu untuk dapat menjawabnya. Aku yakin kau pasti tahu jawabannya. Jika tidak, sebaiknya kau juga harus bertanya pada hati terdalammu. 

Aku akan sabar menunggu jawabanmu apakah malam ini, besok malam, lusa malam, malam bulan depan bahkan malam tahun depan atau bahkan malam ketika aku sudah lulus S2 dan pulang ke Indonesia.

Oh Tuhan ada rasa bahagia dalam hati ini membaca apa yang ditulis oleh Aini. Untuk menjawab hal itu kini aku sudah memiliki keyakinan bahwa memang benar Aini mencintaiku. Aku kemudian menulis dalam emailku berikutnya :

Aini! Tidak perlu malam ketika kau pulang ke Indonesia. Tak perlu kutanyakan lebih dulu pada hati terdalamku. Karena dari dulu hati terdalamku sudah mengatakan Aini Mardiyah juga sudah punya kekasih yang sangat mencintainya mungkin tanpa dia sadari. 

Ketika Aini Mardiyah harus pergi meninggalkannya untuk menuntut ilmu di Australia rasa cintanya sudah tumbuh semakin dalam. Oleh karenanya hari-harinya selalu dipenuhi dengan kerinduannya bertemu dengan Aini Mardiyah. 

Baginya harus disadari bahwa memang hidup ini adalah masa depan bukan masa lalu. Baginya Aini Mardiyah adalah masa depannya. Namun walaupun bagaimana dia masih berharap agar Allah mengizinkannya untuk menjadikan Aini Mardiyah teman hidupnya, teman dalam pengabdiannya kepada Allah.

Dari seberang sana Aini kembali menulis pendek saja :

Aini Mardiyah belum pernah mencintai seorang lelaki seperti saat ini  mencintainya begitu penuh harap ridho dari Allah. Sungguh hanya cinta yang diridhoi oleh Allah adalah cinta yang sejati. 

Lelaki itu dengan izinNya akan menjadi masa depannya. Masa lalu tidak akan pernah kembali. Mari kita songsong masa depan penuh kebahagiaan.

Oh Tuhan malam itu perasaan bahagia memenuhi seluruh relung dalam hatiku. Pulang dari Kampus itu sudah hampir tengah malam dan aku baru sadar kalau belum makan malam namun rasa bahagia ini telah membuat aku tidak merasa lapar.

Sejak malam itu dunia ini penuh dengan bunga keindahan. Kini aku merasa telah menemukan kembali cintaku yang hilang. Kota Bogor telah bersemi lagi dengan hijaunya cintaku dan  rindangnya rinduku.

Sejak malam itu hari-hari rasanya berlalu begitu lambat karena aku sangat merindukan Aini.  Rindu ini begitu mendera hatiku. Aku yakin Aini pun pasti merindukanku dan ini terbukti ketika ia menulis dalam e-mailnya :

Hensa sejak malam itu aku benar-benar telah membuktikan firasat hatiku yang aku rasakan ketika kita berpisah di Bandara Soekarno-Hatta. 

Ketika kau memegang tanganku dan kau mengatakan padaku : "Aini aku aku akan merindukanmu!". Kata-katamu itu sampai kini adalah ucapanmu yang terindah yang menyentuh hatiku. Kata-katamu itu menjadi penghapus air mataku ketika pesawat mulai mengangkasa. Kata-katamu itu menjadi pelipur lara ketika aku menginjakkan kakiku di bumi Brisbane ini.   

Sejak saat itu hatiku berfirasat aku sudah menemukan orang yang membuat hatiku tentram. Aku sudah menemukan orang yang dapat mengobati rasa-rasa rinduku. 

Hensa rasanya aku ingin segera menyelesaikan studiku saat ini juga dan secepatnya aku kembali ke Bogor. Sejak malam itu aku benar-benar terjebak dalam kerinduan yang sangat dalam. 

Aku selalu berpesan agar kau tidak lupa berdoa untukku di setiap sholatmu, apalagi seusai sholat tahajud. Allah selalu bersama orang --orang yang sabar.   

Aku membalas e-mailnya Aini dengan sebuah puisi :

Pagi berwarna biru,

episode demi episode terlipat

dalam album hidup

dan bunga tulip

sejak mekar dari kuncupnya

tengah mulai membentuk wajahnya

Benangsarinya

memanjang menjangkau sukma

Titipkan pagi katupkan senja

Tentramkan malam

Lihatlah hari-hari

sebenarnya terlipat amat cepat

Berputar pada porosnya

Meninggalkan pahala dan juga dosa

Dan siang berwarna bening,

Membimbing arah tertuju

jalan tentram,

jalan lenggang

(sampai disini puisi ini berhenti,

melipat hari-hari lewat,

hingga kala semakin senja,

bersisa doa-doa,

Tuhan yang memiliki terang,

Mohon sinarilah hati ini

dengan purnama malam).

Hari-hari penuh dengan kegiatan akademik di Kampus ternyata tidak cukup memalingkan perasaan rinduku kepada Aini. Namun akhirnya harapan rinduku segera terwujud semakin nyata.

Dua hari yang lalu aku menerima kabar bahwa minggu depan Aini memasuki liburan semester. Tentu saja Aini akan pulang ke Indonesia dengan membawa sejuta rindu yang seolah sudah terpendam berabad-abad. Bukan Aini saja yang memilki rasa rindu yang terpendam. Aku sendiri merasakan hal yang sama.

Betapa lama menunggu minggu depan pada saat Aini tiba ditanah air dan memandangku dengan matanya yang indah dengan senyumnya yang menentramkan dengan sapanya yang merdu penuh ketulusan dan tutur katanya yang lembut penuh hikmah.

Betapa lama menunggu minggu depan. Betapa hari-hari seperti merayap tak beranjak bahkan seperti terdiam. Betapa setiap malam seakan semakin panjang dan seolah tak berujung pagi. Betapa setiap senja seakan terpana sejuta kala dan seolah tak berujung malam. Begitu lambat rasanya hari berlalu. Namun demikian aku terus  menuju hari yang sudah ditentukan dimana Aini akan tiba menemuiku dan aku menemuinya.

Bandara Soekarno-Hatta pagi itu sangat cerah secerah hatiku dan seindah harapanku. Di ruang kedatangan International, Bapak dan Ibu Bachtiar Chaniago, kedua orang tua Aini kelihatan sangat bahagia menyambut anak gadisnya yang sebentar lagi akan bertemu mereka.

Terdengar petugas Bandara mengumumkan bahwa Pesawat Qantas dari Brisbane sudah mendarat. Hatiku semakin berdetak cepat. Oh Tuhan sebentar lagi aku akhirnya bertemu juga dengan Aini. Belum pernah aku sebahagia hari ini. Dari Pintu Kedatangan International sudah kelihatan para penumpang mulai keluar.

Beberapa diantara mereka disambut oleh keluarga yang menjemput. Tawa ria dan senda gurau terdengar diantara mereka. Dari jauh kulihat seorang gadis berjilbab tinggi semampai berkulit putih bersih berlari kecil menyambut pelukan Sang Ibunda dan Ayahanda.

Oh Tuhan dia adalah Aini. SubhanAllah, dia semakin cantik. Kulihat mereka bercakap-cakap. Lalu kulihat Bapak Bachtiar mengatakan sesuatu dan mengarahkan pandangan kepadaku. Maka Aini pun membalikkan tubuhnya dan memandangku lalu berlari kecil menghampiriku.

Aku masih terdiam karena terpana melihat kecantikan bidadari ciptaan Allah ini.

"Hensa !" suara Aini perlahan sambil tersenyum memandangku dengan mata yang berkaca-kaca penuh haru. Kemudian aku hanya dapat memegang kedua tangannya sambil memandang mata indah yang basah penuh dengan air mata kebahagiaan. Tatapan rindu Aini menghujam hatiku hingga terkulai tak berdaya. 

"Aini aku mencintaimu tidak hanya sekedar merindukanmu seperti kukatakan ketika kau meninggalkanku di Bandara ini dulu," kataku perlahan setengah berbisik tapi penuh dengan keteguhan.

Aini terdiam, tidak berkata sepatah katapun. Dia hanya tersenyum memandangku tak berkedip penuh dengan rasa rindu. Ada setitik air mata jatuh di pipinya dan perlahan aku mengusapnya.

Aini memandangku dengan matanya yang tajam, indah dan teduh itu.  Air mata yang mengalir di pipinya adalah air mata kebahagiaan, seakan air hujan yang turun membasahi  kemarau panjangku.  

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat  tanda-tanda bagi kaum yang berfikir   (QS 30:21)."

Bandung 15 Agustus 2019 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun