Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dzikir Fitrah Dua Hati

15 Agustus 2019   15:29 Diperbarui: 15 Agustus 2019   15:51 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandara Soetta Terminal 3 (Foto Twipu.com) 

"Yoi Bro aku duluan ya. Assalaamu alaikum!" kata Alan sambil bergegas meninggalkanku.

Baca Juga : Episode Akhir Cintaku

Sebulan tidak mendapat kabar Aini rasanya seperti penderitaan dirundung rindu. Aku kembali teringat waktu di Bandara itu air mata Aini mengalir deras di pipinya menandakan larut dalam kesedihan. Lalu apakah senyum manis dalam urai air mata di pipinya saat itu adalah arti yang dalam dari sebuh cinta?  

Lalu ketika aku menerima telepon pertamanya, Aini seperti menumpahkan air bah kerinduannya padaku. Benarkah begitu? Namun anehnya aku selalu ragu merasakan perasaan gadis itu padaku. Aku kadang merasa bebal dengan diriku sendiri. Benar apa yang dikatakan sahabatku, Alan Erlangga bahwa aku ini manusia polos yang punya penyakit pengecut tidak percaya diri, selalu ragu dengan kemampuan diri sendiri. Begini akibatnya yang harus ditanggung sendiri.

Teringat ketika masih sama-sama mengerjakan penelitian skripsi di laboratorium, Aini sering mencurahkan isi hatinya tentang Iqbal calon suaminya yang meninggal karena bencana badai diperairan Flores.

"Hensa. Saat ini aku sedang mencoba untuk menerima kenyataan takdirku," kata Aini penuh keyakinan. Gadis itu berkata dengan mata berkaca-kaca. Saat itu aku hanya terdiam membisu. Aku pikir Aini memang sudah menemukan ketegaran menerima takdirNya.

"Hensa mungkin Mas Iqbal bukan jodohku di dunia ini. Aku jadi teringat Erika yang ternyata juga bukan jodohmu," kata Aini menyinggung tentang Erika, sahabatnya. Saat itu sempat juga Aini memberikan analogi tentang berakhirnya kisah cintaku dengan Erika Amelia Mawardini yang harus menerima pilihan orang tuanya. Itu kata Aini adalah Takdir. 

"Aini bukankah waktu itu kau pernah bicara tentang kenyataan takdir padaku?"

"Iya Hen ternyata kata-kata itu kini harus berlaku padaku. Aku harus berani menasehati diriku sendiri, " kembali suara Aini penuh haru.  Bagiku Erika dan Aini adalah kenyataan takdirku yang harus aku pahami. Hanya saja aku masih belum mendapatkan jawaban pasti benarkah Aini mau menerima cintaku?

"Hensa saatnya aku mengalami rasa kehilangan seperti saat kamu kehilangan Erika dulu. Inikah kenyataan takdir yang harus aku pahami?"

"Aini jujur saja aku sendiri mungkin masih belum mampu untuk memahami TakdirNya, " kataku pelan. Takdir tidak bisa secepat itu bisa dipahami namun tetap wajib diterima dengan rasa ikhlas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun