Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Injakkan Kakimu di Bumi

7 Agustus 2019   16:03 Diperbarui: 11 Agustus 2019   16:46 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instrumen Kromatografi untuk analisis kimia (Foto Dok.Pribadi/Hendro Santoso) 

Seminggu sebelum dimulainya semester genap aku bertekad untuk menyelesaikan pekerjaan laboratoriumku. Kemudian sesegera mungkin menyusun skripsiku setelah semua data diolah dan di bahas dengan persetujuan pembimbingku. 

Dalam minggu ini aku benar-benar kerja keras untuk mengejar jadwal ujian skripsi di bulan Februari. Aini dan Alan, dua sahabat dekatku rupanya sudah merampungkan draft skripsi mereka bahkan sudah ada di tangan pembimbing mereka untuk di koreksi dan minggu ini diharapkan selesai dikoreksi.

Mereka, Alan dan Aini selalu setia ikut membantu agar pekerjaan di laboratorium dapat dirampungkan minggu ini. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sahabat setia ini. Akhirnya dengan bantuan mereka aku dapat menyelesaikan seluruh perkerjaan. Data yang aku peroleh dikompilasi dan mulai diolah dengan metoda statistik sesuai rancangan percobaan seperti dalam proposal.

Hari-hari kulalui dengan buku-buku text, jurnal ilmiah terbaru, browsing internet untuk memperoleh rujukan yang mutakhir. Aini dan Alan dua sahabat sejatiku selalu ada disaat aku memerlukan mereka.

Bab I Pendahuluan dan Bab II Tinjauan Pustaka memang sudah aku lengkapi lebih awal. Bab III Bahan dan Metode juga sudah siap. Tinggal Bab IV Hasil dan Pembahasan. Bab IV ini memang sangat menentukan nilai dari skripsiku.

Aku benar-benar bekerja keras menggarap Bab yang satu ini. Beberapa kali aku berkonsultasi dengan Prof Soetrisno, pembimbingku dan beberapa kali pula aku harus membetulkan dan merevisi isi Bab ini. Gambar dan Grafik harus lengkap agar dapat menunjang isi dari Bab ini. Boleh dikatakan inilah Bab yang sangat melelahkan. Aku bekerja menggarap Bab IV ini kadang-kadang dibantu Aini sebagai tukang ketik dan istimewanya semua itu dikerjakan di rumah Aini.

Baca Juga : Rahasia Hati Wanita Sedalam Samudera

Seperti sore hari itu aku dan Aini mengerjakan skripsiku di Beranda belakang rumah Aini yang di jalan Bangka. Suasana sore yang cerah secerah hati kami berdua yang kadang bercanda ditengah keseriusan mengerjakan skripsi.

"Hensa kalau yang ini berita serius," kata Aini untuk menegaskan ini adalah berita yang benar-benar serius ditengah tengah percakapan kami yang selalu bercanda.

"Okey berita serius apa?" tanyaku.

"Aku mau melanjutkan kuliah S2 di Australia dan Papa sudah setuju. Hasil Toeflku yang bulan lalu mendapat nilai 560 hebat bukan?" tanya Aini bangga.

Tentu saja Aini mampu mendapat nilai sebesar itu. Aini, gadis cerdas luar biasa ini aku yakin  bisa masuk di Perguruan Tinggi di Australia.

"Aini, aku ikut gembira bila nanti kau bisa masuk di salah satu Universitas di Australia!" kataku.

"Terima kasih Hen doakan saja agar aku bisa masuk kesana." Harap Aini.

University of Queensland di Brisbane adalah tujuan sekolah yang diinginkan Aini. Aku yakin dengan nilai Toefl sebesar itu Aini pasti diterima di sana tinggal melengkapi persyaratan administrasi lainnya saja termasuk ijazah S1 nya yang hanya tinggal dua-tiga bulan ke depan.

Kerja kerasku dan dengan bantuan yang tulus dari Alan dan Aini, akhirnya aku dapat merampungkan seluruh draft skripsiku untuk kuajukan pada ujian skripsi bulan Februari ini. 

Tentu saja draft ini setelah mengalami koreksi yang teliti dari pembimbingku Prof Soetrisno. Aku sungguh merasa lega bisa ikut ujian skripsi Februari ini dan jika lulus aku masuk dalam jadwal wisuda tahap pertama. Semua ini tanpa bantuan dan dukungan Aini dan Alan tentu aku tidak dapat mencapai target itu.

Jadwal ujian skripsiku dan Alan jatuh pada hari Rabu hanya berbeda jam sedangkan Aini sehari setelah kami. Alan terjadwal pagi pukul 9.00 sedangkan aku siang pukul 13.00

Ruang ujian ada di lantai tiga Gedung Utama Kampus. Aku dan Alan pagi itu sudah bersiap di lantai tiga. Aku memang sengaja datang pagi-pagi untuk memberikan support kepada Alan.

Tepat jam 9 itu Alan sudah mulai masuk Ruang Ujian. Satu jam sudah berlalu, Alan masih juga belum keluar dari Ruang Ujian. Satu jam seperempat, satu jam setengah, satu jam tiga perempat, dua jam. Ternyata Alan masih belum selesai ujian. Buset asyik amat yang ujian, kataku dalam hati.

Beberapa saat kemudian aku melihat Alan muncul di pintu itu sambil tersenyum lebar dengan tarikan nafas yang panjang. Aku tersenyum sambil menggeleng gelengkan kepala.

"Alhamdulillah selesai sudah Hen! Aku rasanya lega sekali semua tugasku sudah rampung alias beres." Suara Alan penuh dengan kegembiraan.

Aku menyambutnya dengan jabatan tangan sambil mengucapkan selamat. Aku memeluknya penuh bangga. Si Berandalan Alan ini begitu gembira karena sudah menyelesaikan ujian dengan baik. Berandalan tapi otaknya cemerlang.

"Tadi hanya satu pertanyaan yang kujawab dengan ragu dari Profesor Soetrisno !" Kata Alan Erlangga. Profesor Soetrisno yang dimaksud Alan itu adalah memang Pembimbingku.

"Ayo kita ke Kantin Fakultas. Biar aku yang traktir kamu Hen," ajak Alan maka kamipun  bergegas menuju lantai dua. Di tangga kami berpapasan dengan Aini lalu sekalian saja Aini kami ajak ke Kantin itu.

"Wah nona manis rupanya baru muncul. Sengaja ya datang jam segini aku tahu nona manis ini cuma mau nungguin si Hensa ujian, sementara itu aku cuma dicuekin," kata Alan  mulai bercanda menggoda Aini.

"Bukan begitu Al sebab aku yakin kamu tanpa aku datangpun pasti bisa," suara Aini membela diri.

"Lho berarti Si Hensa tanpa kau datang nanti ujiannya enggak bisa?" tanya Alan.

"Siapa yang yang berkata begitu? Hensa bukan mahasiswa sembarangan tanpa aku, dia juga pasti bisa apalagi kalau ada aku," kata Aini sambil tertawa renyah. Aini memang cantik sekali saat dia tertawa membawa aura kegembiraan yang utuh.

"Iya iya Aini, ngomong sama kamu mana bisa aku menang. Aktivis HMI memang jago ngomong apalagi Sekjennya," kata Alan menggerutu. Kami hanya bisa tertawa mendengar gerutuan Alan.  

Di Kantin itu kami makan siang kemudian sholat Dzuhur di mushalla kecil dekat Laboratorium Kimia. Hanya tinggal 15 menit lagi ujian skripsiku dimulai. Setelah berdoa maka aku bergegas segera menuju lantai tiga diikuti Alan dan Aini.

Tepat pukul 13.00 aku sudah duduk manis di ruang ujian. Didepanku ada 5 orang Dosen Penguji. Aku duduk bak seorang terdakwa. Bismillah. Ada 5 pertanyaan dari Dosen Penguji I. Tiga dosen Penguji lainnya mengajukan masing-masing 3 pertanyaan. Sedangkan Dosen Penguji yang kelima adalah Pembimbingku sendiri yaitu Profesor Soetrisno.

Alhamdulillah semua pertanyaan dapat aku jawab dengan meyakinkan. Hampir dua jam waktu yang dipakai untuk ujian itu namun selama itu lebih banyak habis karena kami terlibat diskusi begitu asyik tentang satu topik tertentu. Oleh karena itu waktu dua jam itu tidak terasa. Ujianpun usai dan ketika aku berdiri di pintu keluar ruang ujian itu dengan wajah cerah, aku mengucapkan: "Alhamdulillah." 

Aini menghampiriku sambil menjabat tanganku. Aini memandangku dengan senyum kedamaiannya dan matanya yang indah itu seolah menambah kesejukan meresap dalam hatiku. Sementara itu Alan menjabat tanganku dengan erat sambil memelukku.

Rasanya beban berat itu telah aku jatuhkan dan aku campakkan jauh-jauh berganti dengan kelegaan dan kegembiraan. Aku punya feeling skripsiku nilainya A. Mengapa tidak? Semua pertanyaan Penguji dapat aku jawab dengan sangat meyakinkan.

Esoknya giliran Aini menempuh ujian. Aku dan Alan seperti biasa hadir untuk memberikan   semangat. Aini masuk Ruang Ujian pukul 8.00 tadi dan sekarang sudah hampir 2 jam berlalu masih belum ada tanda-tanda ujian selesai.

Bahkan 3 jam sudah berlalu. Ngapain saja mereka. Beberapa saat kemudian Aini muncul di depan pintu keluar Ruang Ujian.  Wajahnya berseri dan senyumnya semakin manis sehingga membuat gadis ini bertambah cantik saja. Kami menyalami dan mengucapkan selamat.

"Aini! Ujianmu hampir tiga jam seperempat lama sekali ya setelah aku pikir-pikir oh pantas saja Dosen Pengujinya betah menguji kamu karena kamu memang cantik sampai sampai para Dosen Penguji itu lupa waktu!" Suara Alan mulai menggoda.

Seperti biasa Aini yang digoda dengan tenangnya tersenyum sambil berkata: "Salah sendiri kenapa gadis cantik seperti aku, skripsinya harus diuji padahal sudah jelas skripsiku bermutu tinggi dan salahnya lagi sudah bermutu tinggi yang nulis juga gadis cantik. Jadi harusnya enggak usah diuji tapi langsung diluluskan saja, " kata Aini sambil tertawa kecil. 

Mendengar jawaban Aini, Alan cuma tersenyum sambil hanya bisa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sementara aku tertawa bersama Aini.

"Oh ya kalian nanti malam ba'da Isya aku undang ke rumah ada acara syukuran," kata Aini.  Aku dan Alan mencoba menebak ada acara apa dibalik syukuran tersebut.

"Syukuran apa dulu Ain?" Alan bertanya namun nampaknya ini kesempatan dia mulai menggoda Aini lagi.

"Tentu saja syukuran keberhasilan kita ini menyelesaikan ujian skripsi dengan lancar dong," jawab Aini singkat.

"Ooooh aku pikir syukuran kamu mau dilamar Hensa!" kata Alan mulai usil lagi.

Busyeet si Alan ini ngawur. Namun penasaran aku ingin tahu bagaimana sikap Aini mendengar candaan Alan ini. Dengan tenangnya Aini menjawab: "Oh kalau acara itu tentu saja aku tidak akan mengundang kamu." Kata Aini kepada Alan sambil gadis ini tertawa lepas tanpa beban.

Bukan main Aini. Dia tetap terlihat wajar dan tidak tersipu menghadapi godaan Alan. Kembali Alan harus garuk garuk kepalanya yang tak gatal itu. Mati kutu dia.

Aku sebenarnya mengharapkan Aini tersipu-sipu mendengar selorohnya Alan itu tapi ternyata tidak. Sikap Aini yang wajar itu menguatkan dugaanku bahwa Aini selama ini memang hanya menganggapku hanya seorang sahabat seperti dulu.

Aku juga semakin yakin bahwa Aini rupanya masih mengangapku sebagai seseorang yang pernah menjadi kekasih Erika, sahabat karibnya. So? Hensa jangan terlalu berharap muluk-muluk ya.

Hati kecilku selalu mengajak untuk menginjakkan kakiku di bumi. Apalagi Iqbal almarhum, calon suaminya dulu tentu tidak mudah dilupakan begitu saja. Untuk menggapai cinta Aini Mardiyah bagai Pungguk merindukan Bulan.Apakah aku harus menyerah? TIDAK. 

Baca Juga : Benarkah Ada Cinta di Beranda Rumahmu?

Bandung 7 Agustus 2019 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun