Aini hanya tersenyum mengangguk. Senyum itu manis sekali. Aini dengan mobil Honda Jazz warna hitam itupun meluncur perlahan dari pelataran parkir itu meninggalkanku sendirian.Â
Untuk sebuah senyumnya yang masih tersisa di pelupuk mataku maka sebaiknya harus kurenungkan dengan bijak. Aini memang cantik tapi mengapa baru kusadari sekarang?
Tentu saja mana mungkin dulu kan ada Erika dan Aini adalah sahabat karib Erika. Dia gadis yang kuakui sangat dekat denganku mungkin karena faktor Erika. Tapi setelah Erika pergi ternyata Aini tetap dekat dan selalu mendampingiku dalam kegetiran hati ini karena kepergian Erika.Â
Sungguh aku saat itu tidak menyadari begitu perhatiannya Aini padaku. Nasihat-nasihatnya selalu berlandaskan ayat Al-Quran atau Hadist.
"Hensa kita ini tidak punya apa-apa karena kita ini bukan siapa-siapa. Kita ini ada karena ada yang mengadakan yaitu yang Maha Ada. Tidak ada gunanya bersedih untuk seseorang yang bukan milik kita karena kita memang tidak punya apa-apa. Kita wajib berfikir kedepan karena akhir itu lebih baik dari awal!" kata Aini suatu hari ketika aku lalui hari-hari dengan murung. Kata-kata Aini itu mengandung ungkapan tauhid dengan tingkat tinggi.
Oh Tuhan mungkinkah aku sudah menemukan cintaku yang hilang itu sekarang ada dalam diri Aini?
Ha ha ha ha Hensa jangan mimpi kamu harus tahu diri. Aini dengan dirimu itu ibarat bumi dan langit. Hensa, kamu harus tahu diri. Â
Status sosial yang jomplang. Aini dari kalangan berada sedangkan kamu Hensa? Status intelektual juga tidak imbang. Â Dia gadis cerdas dan ilmu agamanya setingkat seorang ustadzah sedangkan kamu Hensa?
Prestasi akademis Aini sangat cemerlang dengan indikator indeks prestasi kumulatif (IPK) hingga semester kemarin yang sudah dia capai adalah IPK 3,85 sedangkan aku untuk bisa IPK 3,05 saja harus belajar setengah mati.Â
Rupanya tidak ada alasan apapun yang dapat menjadi pegangan agar aku dapat mencintai Aini.
Menyadari itu aku hanya tersenyum kecut. Lalu akupun bergegas menuju ruang praktikum di lantai dua.Â