Ketika itu aku memutuskan lebih baik berhenti kuliah dan mencoba untuk bekerja. Maka orang yang pertama mencegah niatku itu adalah Aini.Â
Ternyata Aini telah banyak memberiku ketabahan sehingga aku tetap bertahan sampai tahap penyusunan skripsi ini.
Sungguh Aini adalah sahabatku yang terbaik selain Alan, seorang pemuda urakan tapi berotak encer. Aku selalu gembira bila dekat dengan Alan yang suka melontarkan lelucon-lelucon yang kocak.Â
Demikian pula kehadiran Aini semakin lama semakin memiliki arti. Jujur saja, aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku kepada gadis ini. Ketika aku ingin menaruh harapan kepadanya, hati kecilku berkata mana mungkin gadis cantik cerdas dan religious ini belum punya pendamping. Â
Sore itu seusai asistensi praktikum kimia organik, aku langsung menuju laboratorium instrument yang letaknya bersebelahan persis dengan laboratorium kimia. Di deretan instrument kimia itu, aku lihat Aini sedang sibuk membuat preparasi sampel-sampel penelitiannya.
"Apa yang bisa saya bantu nona Aini ?" aku menyapa Aini. Gadis ini hanya  tersenyum sambil memandangku. Senyum yang manis mendamaikan hati.Â
Subhanallah. Aku mencoba bertanya kepada diri sendiri. Apakah sekarang aku sudah mulai jatuh cinta lagi?Â
Andaikata ya, kenapa aku harus jatuh cinta kepada Aini Mardiyah? Bukankah Aini adalah sahabat dekat Erika. Kenapa harus Aini? Apakah ada yang melarang andai aku jatuh cinta kepada sahabat dekat Erika? Apakah aku tidak boleh jatuh cinta kepada Aini hanya karena Aini sahabat Erika?Â
Semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu aku cari jawabannya. Setidaknya aku sudah bisa menebak kemana arah jawaban itu.
Sekarang ini setiap selesai asistensi praktikum, aku selalu menemani Aini untuk ikut membantu analisa sampel-sampel penelitiannya di laboratorium instrument.
"Hensa. Hari ini mudah-mudahan selesai sudah pekerjaan ini!"