"Ya Pak saya minta maaf. Hp saya waktu itu saya matikan sewaktu sholat Jumat tapi lupa menyalakan kembali sampai sholat Isya!", kataku polos. Pak Tris hanya tertawa.
"Hen proposal skripsimu sudah saya periksa dan ada beberapa perbaikan sebelum diseminarkan. Pada prinsipnya saya setuju dengan ide penelitianmu. Sesegera mungkin kau perbaiki untuk diseminarkan kalau bisa minggu depan !", kata Pak Tris sambil menyerahkan draft proposal kepadaku.Â
Alhamdulillah akhirnya proposalku sudah disetujui. Padahal Alan yang sama-sama dibimbing Pak Trisno hingga saat ini masih belum disetujui, masih harus mengalami perbaikan-perbaikan yang berulang-ulang. Aku ternyata hanya sekali mengalami perbaikan.
"Iya Pak terima kasih. Saya akan perbaiki sesuai petunjuk dari Bapak dan Insya Allah selesai sesuai jadwal !" kataku pendek penuh kegembiraan.
Rasa lega meliputi relung dadaku karena jika proposal disetujui kemudian di masukkan untuk seminar proposal maka akan secepat itu pula penelitian ini dapat aku lakukan dan secepat itu pula skripsiku selesai.Â
Lalu itu artinya biaya hidupku di Bogor ini bisa aku hemat karena aku akan selesai kuliah dan lulus lebih cepat dari jadwal semula.
Hal ini yang membuat aku bersemangat untuk segera menyelesaikan kuliahku dan segera di wisuda dan segera mendapatkan pekerjaan dan segera apa lagi? Mungkin segera menikah dengan gadis yang kucintai. Lalu siapa gadis itu? Erika? Nama itu lagi.Â
Seharusnya aku sudah sejak dua tahun yang lalu melupakannya. Ya seharusnya begitu. Tapi kenyatannya tidak semudah yang kuinginkan.Â
Tidak, aku harus bisa melupakan dia. Lihat jalan di depan dan tidak perlu menengok ke belakang. Ya  aku harus bisa. Aku harus bisa. Harus. Harus. Harus.
"Apanya yang harus Hensa," suara lembut seorang gadis. Di depanku berdiri Aini Mardiyah sambil tersenyum. Aku terkejut karena tak sadar  ternyata aku sedang ngomong sendiri. Â
"Kamu baru saja bilang harus. Harus. Harus. Harus apa Hensa ?" tanya Aini.