Ada apa gerangan. Apakah berita tentang hubungan denganku selama ini? Apakah Aini sudah bisa menangkap sinyal-sinyal rasa cinta ini kepadanya. Apakah Aini sudah tahu apa yang selama ini terpendam dalam hatiku.
"Oh Tuhan segala puji bagiMu. Ada berita bahagia apa Aini?" tanyaku penasaran. Aini kembali tersenyum dan kembali aku harus terpesona dengan keramahan dan ketulusan senyum gadis cantik ini.
"Dengar Hensa. Hari Ahad besok aku akan dikhitbah!" suara Aini terdengar riang penuh dengan kebahagiaan. Aku lihat matanya berbinar.Â
Khitbah adalah prosesi lamaran seorang pria kepada gadis yang akan menjadi istrinya setelah kedua orang tua mereka sama-sama bersepakat. Ternyata ini berita bahagia itu. Tentu saja bahagia untuk Aini sedangkan untukku? Aku masih terdiam mendengar kalimat yang diucapkan Aini tersebut.
"Hensa. Aku ingin kamu mau datang dalam acara khitbah nanti. Aku hanya mengundangmu sebagai sahabat sejatiku!" kembali suara Aini penuh harap atas kehadiran dalam acara khitbahnya.
"Baik Aini. Terima kasih atas undanganmu merupakan kehormatan bagiku!" kataku pelan.
Perasaanku benar-benar mengharu biru bahkan mungkin sudah menghitam pekat gelap karena benar-benar seperti sudah tidak ada lagi setitik cahaya harapan.Â
Ya Tuhan sebenarnya apa yang terjadi. Saat hatiku sudah mulai terbuka untuk menerima kebahagiaan dari gadis yang aku cintai tapi selalu saja Engkau pisahkan dia dariku. Sesungguhnya aku tidak mau bertanya. Aku cukup hanya menunggu jawaban TakdirMu. Maha Suci Allah. Â
Maka di perjalanan  pulang menuju tempat kosku aku lebih banyak melamun dan bermimpi sambil sekali-kali tersenyum sendiri seperti orang gila. Kembali tersadar menjadi orang yang tahu diri.Â
Memang sungguh keterlaluan kalau aku harus jatuh cinta kepadanya. Namun lebih keterlaluan lagi jika aku tidak berupaya untuk terus mengejar cinta Aini Mardiyah. Bukankah janur belum melengkung? Sungguh-sungguh keterlaluan.
Bandung 1 Februari 2015