Benar di sana Erika berjalan memandangku. Aku terpana karena menduga ini hanya fatamorgana.
"Erika!" Aku memanggil namanya.Â
Wanita yang sangat aku cintai ini hanya melambaikan tangannya sambil berlari kecil menghampiriku.
"Hen, setiap aku selesai Misa tidak pernah aku lewatkan untuk memandang ke arah Taman sambil berharap kamu ada di sana, " kata Erika sambil tersenyum.
Senyum damai yang membawa tentram hati seperti 45 tahun lalu. Wajah Erika tetap cantik tidak berubah sama sekali. Hanya ada sedikit kerutan usia tua namun tidak mengurangi keteduhan dan kecantikannya.
Kami saling berpandangan tanpa sebuah katapun keluar dari bibir ini. Aku hanya mampu memandang tajam mata indah Erika dengan sepenuh cinta. Hanya sepi yang ada. Ketika sebuah kata itu akhirnya memecah kesunyian.
"Hen, aku masih sendiri," suara Erika tersekat dikerongkongan. Serangkai kalimatnya sangat mebahagiakanku. Akupun tersenyum mendengarnya.
"Rika, aku juga masih sendiri." Tegas sekali kalimat itu aku ucapkan.
Aku memang menunggunya selama 45 tahun dan yang tidak pernah aku sangka Erikapun menungguku selama 45 tahun.Â
Walaupun kami saling setia dalam penantian, tetapi kami tidak mungkin bisa menyatukan cinta kami.
Karena kami berbeda keyakinan.Â